Setelah tamat SMA, saya diterima sebagai mahasiswa di
Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari melalui jalur Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN). Itu artinya, saya mempunyai kapabilitas untuk menjadi
seorang mahasiswa.
Sama seperti Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas), Unhalu
juga sering masuk TV karena ulah mahasiswanya yang suka berkelahi. Saya lebih
suka menggunakan kata berkelahi ketimbang tawuran. Karena bagi saya, kata ini
lebih pantas dan pas untuk menggambarkan
betapa dahsyatnya perang antar mahasiswa yang kerap kali terjadi di sana.
Menurut saya, kata tawuran terdengar kurang dahsyat dan eskalasi
konfliknya biasa saja. Kata ini hanya cocok digunakan untuk perkelahian antar
mahasiswa di depan kampus Universitas Persada Indonesia (UPI) Salemba yang tempo hari saya saksikan dalam
perjalanan menuju kantor (BPS), di mana para mahasiswa hanya saling lempar batu
dan saling memaki dari kejauhan.
Apa yang terjadi di Unhalu lebih frontal dan berdarah-darah. Tidak jarang, nyawa mahasiswa melayang saat terjadi perkelahian karena kena
bacok atau tertusuk belati. Untungnya, saya hanya setahun menuntut ilmu di
Kampus itu, dan selanjutnya banting setir ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
(STIS) di Jakarta.
Terkait keributan antar mahasiswa yang kerap terjadi di
Kampus Unhalu, ada pengalaman lucu saat saya berlibur ke Jogja. Waktu itu adalah
tahun ke-2 saya kuliah di STIS. Untuk mengisi libur Ujian Tengah Semester (UTS),
saya mengunjungi suadara sepupu yang sedang menuntut ilmu di
Bulaksumur (UGM). Saya menginap di kontrakkannya di daerah Kali Urang selama
empat hari. Di kontrakkan sederhana itu juga tinggal kawan-kawannya yang
semuanya orang Jawa dan juga mahasiswa UGM.
Suatu pagi, saat sarapan
bersama di ruang tamu sambil menonton TV, tiba-tiba muncul tayangan berita
tentang keributan yang terjadi di Kampus Unhalu. Di layar kaca terlihat jelas, sejumlah mahasiswa saling kejar dan beberapa diantara mereka memegang sebilah parang.
Menyaksikan tayangan itu, seorang kawan saudara sepupu saya langsung menoleh
kepada saya. Lalu, dengan logat Jawanya yang medok
dia berucap, “Mas, kampungnya tuh”. Saya hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecut pertanda malu. Dalam hati,
saya berkata, “untung mereka hanya tahu
kalau saya berasal dari Sultra, bukan mantan mahasiswa Unhalu. Seandainya mereka
tahu hal itu, mau dibawa ke mana muka yang sudah hancur ini.”
Penyulut api peperangan motifnya selalu sama dari dulu
hingga kini, tak pernah berubah, yakni suksesi pemilihan pengurus Badan
Eksekutiv Mahasiswa (BEM) yang dibungkus oleh fanatisme suku dan semangat
premanisme yang membara. Hampir dipastikan, pemilihan pengurus BEM, baik itu
level fakultas maupun universitas, selalu berakhir ricuh dan berujung pada peperangan.
Kalau perang sudah meletus, mahasiswa yang lebih lihai dan terampil memegang pena
dibanding parang atau badik—seperti saya—harus cepat-cepat mengungsi untuk menyelamatkan diri dari sabetan pedang atau tusukan belati. Dan,
masjid adalah salah satu tempat terbaik dan aman untuk itu. Karena rupanya dalam hati mereka, yang tengah kesetanan akibat terbakar emosi itu, masih ada
sedikit kesadaran bahwa masjid adalah rumah Tuhan yang tak boleh diserang.
Selain mahasiswanya yang suka berkelahi, satu lagi yang unik
dari Unhalu adalah areal kampusnya yang sangat luas. Karena saking luasnya, jadi tampak
kurang terurus. Saat kuliah dulu, ada anekdot kalau kata Unhalu merupakan
singkatan dari Universitas Hampir Lumpuh—karena kurang terurus.
Dulu, saya hampir setahun tinggal di masjid kampus
(Arraufurrahim), menjadi marbot. Jarak mesjid itu hampir satu kilometer dari Jurusan
Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), jurusan tempat saya
kuliah. Padahal, keduanya masih dalam satu areal Kampus Baru Unhalu. Dari Arrauffurahim ke FMIPA,
selalu saya tempuh dengan berjalan kaki. Selama tak kurang lima belas menit waktu
perjalanan, saya melewati berbagai rupa jenis ekosistem, mulai dari rawa,
sawah, padang ilalang, hingga hutan tanaman keras. Berbagai jenis spesies hewan
pun kerap kali saya jumpai, mulai dari burung, katak, ular, biawak, hingga babi
hutan.
Saat musim kemarau, padang ilalang sering terbakar dengan
sendirinya—kadang
juga sengaja dibakar oleh mahasiswa.
Beberapa kawan sering jahil, berbekal ponsel jadul yang dibeli dengan uang
kiriman orang tua dari kampung yang seharusnya digunakan untuk membayar SPP,
mereka menelpon Dinas Pemadam Kebakaran untuk mengabarkan berita gawat bahwa
telah terjadi kebakaran di areal kampus. Pegawai Dinas Kebakaran yang tertipu
oleh kabar hoax itu pun meluncur ke
lokasi. Mobil pemadam kebakaran dengan serinenya yang mengaung-ngaung pun
memasuki kampus, diiringa tawa cekikikan para mahasiswa yang merasa puas
karena telah berhasil mengelabui.
Terlepas dari segala
kekurangannya, untuk regional Sultra, Unhalu adalah favorit—terutama
bagi kami yang berasal dari kampung, yang amat jarang tersentuh dan menyaksikan
hirukpikuk kehidupan kota. Kala itu, setahu saya hanya ada dua universitas negeri di Kendari,
yakni Unhalu dan Unsultra (Universitas Sulawesi Tenggara). Dari bangunan fisik
kampusnya yang mirip SD inpres, orang pasti akan ragu kalau Unsultra adalah
sebuah universitas. Karenanya, Unhalu adalah yang terbaik. Dan, pilihan saya pun jatuh
padanya.
Sebetulnya, sebagaimana para lulusan SMA umumnya, saya juga punya
mimpi dan angan-angan untuk kuliah di Universitas yang lebih baik, Unhas atau
kampus-kampus di Pulau Jawa, misalnya. Tapi itu sesuatu yang sulit bagi saya,
yang terlahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, yang saban hari
bolak-balik di sekitar garis kemiskinan. Sudah bisa kuliah di Unhalu saja
adalah nikmat besar yang patut disyukuri.
Namun, ada satu angan-angan yang tak pernah padam sejak SMA, yakni kuliah di STIS. Sekolah gratis dan jaminan menjadi PNS setelah lulus tanpa perlu menyogok—sesuatu yang mustahil terjadi di kampung saya—adalah faktor utama yang mendorong saya begitu ingin kuliah di kampus ikatan dinas milik Badan Pusat Statistik (BPS) itu. Bagi saya, STIS seperti the golden ticket dalam film Willy Wonka untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, keluar dari jerat kemiskinan. Karenanya, saya bertekad di dalam hati untuk ikut test ujian masuk STIS setelah setahun kuliah di Unhalu
Namun, ada satu angan-angan yang tak pernah padam sejak SMA, yakni kuliah di STIS. Sekolah gratis dan jaminan menjadi PNS setelah lulus tanpa perlu menyogok—sesuatu yang mustahil terjadi di kampung saya—adalah faktor utama yang mendorong saya begitu ingin kuliah di kampus ikatan dinas milik Badan Pusat Statistik (BPS) itu. Bagi saya, STIS seperti the golden ticket dalam film Willy Wonka untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, keluar dari jerat kemiskinan. Karenanya, saya bertekad di dalam hati untuk ikut test ujian masuk STIS setelah setahun kuliah di Unhalu
La Sarima
Tuhan memang selalu punya rahasia-rahasia yang sulit
ditebak. Selalu ada banyak kejutan indah dariNya dalam kehidupan ini. Begitu pula, saat kuliah di Jurusan Matematika FMIPA, Unhalu,
saya tak menduga bakal sekelas dengan anak yang memiliki bakat matematik yang mengagumkan, yang begitu
fenomenal degan julukannya ‘mencakar di
udara’ sebagaimana telah saya kisahkan sebelumnya. Dan, singkat cerita, kami
pun berkawan. Penimpilannya masih seperti dulu, sama sekali tak berubah, tetap
udik alias ndeso, sama seperti saya.
Orang bilang nama adalah doa. Karenanya, orang tua tidak
sembarangan dalam memberi nama. Dalam sebaris nama yang kita miliki sejatinya terkandung
sejuta harap dan doa orang tua agar kehidupan kita aman, tentram,
dan sejahtera. Dan, mungkin itu pulalah yang mendasari orang tua kawan yang
dijuluki ‘mencakar di udara’ itu menamainya La Sarima.
Jujur, saya tidak tahu apa arti di balik nama ‘La Sarima’. Mungkin, nama
itu hanya sekedar nama yang tak punya arti. Tapi, satu yang saya tahu pasti, pemilik
nama dengan kata 'La' atau 'La Ode' di depan pastilah orang Muna
atau Buton. Ini lazim digunakan untuk laki-laki seperti halnya 'Wa' atau 'Wa Ode' untuk perempuan. Ini juga semacam penanda atau identitas seperti “Andi” untuk orang
Bugis-Makassar. Dan, menurut saya, penggunaan kata 'La' memunculkan kesan seksi, karena sedikit berbau Romanic—Italia,
Spanyol, dan Perancis—seperti halnya pada kata La Porta, La Masia, La Piazza, La
Fonte, atau La yang lainnya.
Banyak teori yang berkembang perihal asal muasal penggunaan
kata 'La' (rakyat biasa) atau 'La Ode' (bangsawan) pada nama orang
Muna dan Buton. Ada anggapan bahwa peggunaan kata tersebut diadopsi dari
bangsa-bangsa Romanic, atau mungkin juga moyang kedua suku ini berasal dari Italia, Spanyol,
atau Perancis sana. Tetapi, dengan melihat gestur tubuh yang menyimpang jauh—terutama
wajah—teori
yang satu ini sepertinya terbantahkan
dengan sendirinya.
Teori lain—terutama yang berkembang di kalangan
orang Muna—menyatakan
bahwa kata 'La', begitu pula dengan
kata 'Wa', diadopsi dari kalimat syhadat Asyadu Alla Ilaha Illa Allah Wa Asyahadu
Anna Muhammadarrasulullah. Menurut saya, teori yang satu ini sedikit
dipaksakan dan sedikit konyol.
Sepintas, teori ini mungkin menggambarkan nilai-nilai agama
Islam yang begitu kuat pada masyarakat Muna-Buton. Tetapi, bagi mereka yang
paham bahasa Arab, hal ini tentu sebuah kekonyolan. Betapa tidak. Kata 'La', yang dalam bahasa Arab berarti 'tidak',
akan amat jelek artinya jika dilekatkan
pada kata tunggal lain yang sejatinya bermakna bagus dan indah. Contohnya,
nama-nama seperti La Jamilu, La Hasanah, dan La
Mukmin sering dijumpai pada orang Muna-Buton. Kata-kata seperti jamilu=indah/cantik,
hasanah=baik, dan mukmin=beriman biasanya dicomot dari Al Quran karena
dianggap bermakna bagus.
Tetapi, mereka yang tahu bahasa Arab tentu tahu, kalau arti
dari La Jamilu itu adalah tidak indah alias jelek, begitu pula dengan La
Hasanah yang artinya tidak baik
alias buruk. Keduanya masih mending,
bagaimana dengan La Mukmin yang
artinya tidak beriman? Itu artinya,
secara tidak langsung, sang empunya nama menyatakan—mendoakan—diri kafir. Padahal, nama adalah sebuah doa....(bersambung).
Catatan: Muna dan
Buton adalah nama dua suku terbesar penghuni gugusan pulau-pulau di sebelah tenggara Sulawesi yang terdiri dari dua buah pulau besar, yakni
Pulau Muna dan Pulau Buton. Umumnya, mereka yang di luar Sultra
hanya mengenal Suku Buton. Bagi mereka, orang Muna juga orang Buton. Anggapan
yang sebetulnya tidak tepat karena kenyataannya meskipun kedua suku ini memiliki
kedekatan antropologis dan sosio-kultural yang kuat, keduanya sejatinya bebeda.
Sama halnya dengan urang Sunda yang
tak sudi disebut orang Jawa, orang Muna punya sejarah sendiri yang menjadikan
mereka enggan disebut sebagai orang Buton. La Sarima sendiri adalah orang Muna,
sama seperti saya.
Komentar
Posting Komentar