“Kesuksesan bukanlah
sesuatu yang diwariskan, dia adalah sesuatu yang diusahakan. Buah dari kerja
keras tak kenal lelah”
Saya punya seorang kawan yang begitu terobsesi dengan film
India. Saking terobsesinya kawan yang satu ini, dia mengubah namanya menjadi
Rahul, tokoh yang dilakonkan aktor kawakan Bollywood Sahrukh Khan dalam sebuah
film drama percintaan berjudul Kuch Kuch
Hota Hai.
Sebetulnya, secara gestur wajah, nama ini kurang representatif
untuk kawan yang memiliki rambut ikal dan hidung mekar seperti jambu air itu.
Satu-satunya kesesuain fisik antara
dirinya dan Sahrukh Khan adalah badannya yang tinggi menjulang sekitar 180 an
sentimeter. Selebihnya, dia terlalu hancur untuk menyandang nama Rahul yang
tampan itu.
Kendati tak pantas, kawan yang satu ini tetap pede
menyandang nama Rahul. Diolok-olok sekalipun, dia—yang IQ-nya sedikit jongkok
itu—tak
ambil pusing. Baginya, antara dia dan Rahul tetap saja bagaikan pinang dibelah
dua. Dan karena merasa diri mirip Rahul itulah kawan yang satu ini menjadi suka
bersiul kalau berjalan, dengan siulan yang sedikit dipaksakan dan membuat orang
yang mendengarnya ingin muntah.
Saya dan kawannya yang lain—yang lebih waras tentunya—sudah
bersusah payah menyadarkannya, mencoba menyembuhkannya dari peyakit akut merasa
diri mirip Rahul itu, sampai-sampai suatu ketika kami pernah membawa poster
Sakrukh Khan dan sebuah kaca cermin ke hadapannya. Tetapi, tetap saja itu tak
berguna, dia yang terlahir dengen kecerdasan di bawah rata-rata itu, tetap kekeh dengan pendirian kelirunya, bahwa
dia mirip Rahul.
Nama asli kawan yang satu ini sebenarnya adalah Ramadhan.
Mungkin karena lahir di Bulan Ramadhan maka orang tuanya memberinya nama itu.
Selain dipanggil Rahul, dia yang memiliki tubuh kekar dan tinggi menjulang,
juga kerap disapa dengan panggilan La
Gajah. Nama ini adalah hadiah dari guru SD-nya saat kelas satu, karena
berkali-kali tidak naik kelas yang menjadikan ukuran tubuhnya menjadi jauh
lebih besar seperti gajah dibanding teman-teman sekelasnya, yang tidak lagi
sebaya dengannya.
Bosan berkali-kali tidak naik kelas, La Gajah yang saat jam pelajaran suka kabur dari kelas untuk
menonton film India yang diputar di TPI setiap pukul 10 pagi WITA itu,
memutuskan untuk mengakhiri riwayat pendidikannya hanya sampai kelas satu
sekolah dasar. Yang dengan itu menjadikan dia tidak bisa baca tulis, dan hanya
hafal nama-nama aktor India seperi Govinda, Amitha Bachan, Sri Devi, dan Tuan
Takur ketimbang nama-nama pahlawan nasional yang gambarnya digantung di dinding
kelasnya.
Setahu saya, dia
hanya hafal satu nama pahlawan nasional, yakni Sultan Hasanuddin, yang menurut
dia bertampang sangar dan menakutkan karena berkumis dan brewokan. Bagi dia,
semua orang yang berkumis di dunia ini antagonis sebagaimana Tuan Takur Singh
dalam film India yang kerap kali ditontonnya.
Hanya Ingin Menjadi
Loper Koran
Meskipun terlahir dengan kecerdasan di bawah rata-rata, La Gajah amat rajin ke-masjid untuk
shalat berjamaah. Hampir setiap habis Maghrib hingga menjelang Isya’ dia selalu
menyempatkan diri bersama kami menuntut ilmu agama, mengkaji berbagai kitab,
seperti Al Ushul Astsalasa Karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Bulughul
Maram (Bab Akhlaq) karya Iman Ibnu Hajar
Al ‘Asqolani, Minhajul Qashidin
Mukhtasar (ringkasan) Ihya Ulumuddin
karya Imam Ibnu Qudamah, dan Riyadhus Shalihin karya Imam Annawawi salah satu iman mahdzab
Syafi’iyyah terkemuka yang yang mati muda di usia tiga puluhan, dan tragisnya beliu
yang sangat alim itu belum sempat menikah.
Dengan mengkaji kitab-kitab tersebut kami belajar berbagai
hal tentang aqidah, ibadah, dan akhlak. Yang dengannya kami menjadi paham kalau
percaya kepada dukun dan tukang ramal itu adalah kemusyrikan, shalat berjamaah
itu lebih utama 27 derajat daripada shalat sendiri, bahwa makan dan minum itu
harus dengan tangan kanan dan mengucap basmallah, menjawab salam adalah
kewajiban, serta berbagai hal lain tentang persoalan agama.
Selain begitu terobsesi dengan tokoh Rahul, La Gajah yang tak muluk-muluk dalam
bercita-cita itu juga amat terobsesi untuk menjadi seorang loper koran. Entah
apa yang ada di batok kepalanya yang sedikit peang itu, dia begitu mendambakan profesi yang satu ini, sama
seperti anak-anak lulusan SMA jurusan IPA yang begitu mendambakan profesi
menjadi seorang dokter.
Di masjid, saat menunggu adzan isya’ tiba, dia selalu menyampaikan
kepada kami perihal cita-citanya yang mulia itu, bahwa dia ingin menjadi
seperti idolanya di dunia nyata, La
Sintere, agen koran tunggul yang amat sukses di kampung kami. Semua rupa
koran yang beredar di kampung kami, baik itu koran nasional maupun lokal, sudah
dapat dipastikan berasal dari pemilik nama yang sedikit unik ini.
Mari kuceritakan kepadamu kawan perihal nama yang sedikit
unik ini. Pada dekade 60 an, jauh sebelum kendaraan roda empat menjejaki
kampung kami untuk kali pertama pada tahun 80 an, lampu senter adalah sebuah
teknologi baru yang merambah desa-desa di kampung kami. Dan mereka yang selama
hidupnya, hanya mengenal obor sebagai alat penerang jalan, begitu terkesima dan
takjub dengan teknologi yang satu ini, termasuk orang tua satu-satunya agen
koran di kampung kami sehingga menamainya La
Sintere. Sintere adalah bahasa daerah untuk senter di kampung kami.
Selain La Sintere,
masih banyak nama-nama lain di kampung kami yang unik dan lucu. Ada La Radio, La Fuji, La Senso, La Pemilu, La
Inpres, La Pili Golkar, dan masih banyak lagi. Semua nama-nama itu punya
sejarahnya masing-masing, seperti halnya nama La Sintere. Dan karena pemberian orang tua, nama-nama itu harus diterima dengan senang dan lapang hati,
meskipun kelak sang anak akan sedikit malu dengan kelucuan yang ada pada
namanya itu.
Sebagai kawan, kami amat mendukung keinginan kuat La Gajah untuk menjadi seorang loper koran.
Cuma satu masalahnya, dia yang hanya mengeyem pendidikan kelas satu SD itu
tidak bisa baca tulis, modal penting bagi seorang penjaja barang yang menjadi
konsumsi orang-orang yang gemar membaca itu.
Satu-satunya modal yang dia miliki untuk menjadi seorang pedagang, selain semangat
yang membara, adalah kemampuan mengenali nominal dan meghitung uang.
Karenanya, hampir
setiap malam sehabis pengajian kami mengajarinya baca tulis. Meskipun cukup
sulit membuat kawan yang drop out di
kelas satu SD ini bisa membaca, dengan
kerja kerasnya dalam waktu kurang dari sebulan dia mencapai sedikit kemajuan. Setidaknya,
dia tidak lagi membaca kata baygon
dengan obat nyamuk, bisa mengenal
huruf adalah kemajua luar biasa baginya dalam kurun waktu satu bulan.
Tidak bisa baca tulis nyatanya tidak membuat semangat La Gajah untuk menjadi seorang loper
koran surut. Kendala ini disiasatinya dengan cara meminta tolang kepada kami
kawan-kawannya yang bisa membaca untuk memberitahu berita apa saja yang menjadi
Headline di halaman pertama Koran
Kendari Post yang akan dijualnya. Berbekal informasi itu,dia menjelajahi gang-gang dan lorong-lorang kampung,
meneriakkan kalimat yang hingga kini selalu diucapkannya saat mengantarkan
koran, ”berita hangat-berita hangat “ diikuti penyebutan semua judul berita yang
menjadi headline pada halaman pertama.
Kesuksesan bukanlah sesuatu yang diwariskan, dia adalah
sesuatu yang diusahakan. Buah dari kerja keras tak kenal lelah. Dalam hidup ini,
kesuksesan bukan melulu milik orang-orang yang berpendidikan tinggi. Dan La Gajah telah membuktikan akan hal itu.
Kerja kerasnya menjadi loper koran sejak enam tahun yang lalu kini berbuah
manis. Kalau dulu dia mengantar koran dengan berjalan kaki, sekarang dia sudah
punya sepeda motor. Dia pun sudah lancar baca tulis. Kalau dulu dia hanyalah anak
buah La Sintere, kini dia adalah
seorang boss yang memiliki beberapa
orang anak buah, bahkan kini dia telah menjadi pesaing berat La Sintere sebagai agen koran di kampung
kami. Dalam hal pasar koran, kini keduanya adalah oligopolis dengan market
share yang berimbang........(bersambung)
Komentar
Posting Komentar