cerita sebelumnya:
Angka Dari Langit
Angka Dari Langit
"i'm shining like a candle in the dark when you tell me that you love me"
Hari itu, Bekti tersenyum lepas. Aura bahagia tergambar
jelas di wajahnya yang medhok, khas
orang Jawa itu. Informasi mengenai penempatan pegawai baru BPS alumni STIS yang
terpampang di sebuah papan pengumuman di kantor BPS Pusat, Pasar Baru, Jakarta
Pusat, yang baru saja dipelototinya membuatnya begitu girang.
Pasalnya, di pengumuman itu tertulis dengan jelas, sejelas
mentari di siang bolong, dia akan ditempatkan di sebuah Provinsi yang
cukup tertinggal di Sulawesi. Sulawesi Tenggara nama provinsi itu. Yang menurut
informasi dari situs www.bps.go.id yang
diakses oleh Bekti tempo hari memiliki ranking IPM yang sangat buruk, hanya
lebih baik dari provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTT. Selain itu, kepadatan penduduknya hanya 58 jiwa/km2. Dengan informasi
ini, orang yang paham akan angka statistik dengan mudah dapat menyimpulkan,
betapa sunyinya provinsi yang masih mengalami krisis listrik itu.
Transportasi juga merupakan persoalan pelik di Sultra, yang
sekitar 60 persen wilayahnya adalah kepulauaan. Karenanya, kapal laut dan yang
sejenisnya menjadi moda transportasi andalan. Dan laut tidak seperti jalan raya
yang mulus. Dia bergelombang, dengan gelombang yang terkadang lebih tinggi dari
kapal lautnya.
Wilayah daratannya─yang masih menyatu dengan Pulau Sulawesi─juga
setali tiga uang. Masih banyak jalan yang belum beraspal. Kalaupun beraspal,
banyak yang kualitasnya masih jelek karena terkelupas dan bolong di sana-sini.
Selain itu medannya juga sulit. Kalau di Sumatera Barat sana ada yang namanya kelok ampe-ampe yang fenomenal itu. Di
Sultra ada yang lebih dahsyat, yakni jalan provinsi yang menghubungkan Kota
Kendari dan Kabupaten Kolaka. Selain sempit, jalur Kendari-Kolaka yang
menyusuri kaki Pulau Sulawesi itu memiliki banyak sekali kelokan tajam, yang
kalau dihitung-hitung lebih dari empat puluh empat jumlahnya. Saya tidak tahu
berapa persisnya jumlah kelokannya. Pasalnya, setiap kali melewati jalur
tersebut saya selalu mabuk berat dan muntah-muntah sepanjang perjalanan.
Tidak heran kalau ada anekdot bahwa Sultra adalah singkatan
dari Sulit Transportasi dan kode wilayah yang tetera di plat nomor kendaraan bermotor
di provinsi ini, DT, adalah singkatan dari daerah tertinggal.
Dan, segala hal yang menunjukkan Sultra adalah provinsi
tertinggal nyatanya tak membuat Bekti risau apalagi galau. Sebaliknya, dia
justru semakin tertantang dan excited (penuh
gairah) untuk segera ke Sultra. Kegirangan Bekti adalah sebuah anomali, outlier dalam bahasa Statistika (pencilan), sebuah
keganjilan dari umumnya mahasiswa STIS yang begitu alergi dan takut dengan kata
Indonesia Timur.
Di STIS, frasa Indonesia Timur telah menjadi momok menakutkan
yang membuat para mahasiswa─khususnya perempuan─lebih
betah dan senang menatap buku ketimbang menonton televisi. Frasa ini telah
menjadi alat ampuh bagi para dosen untuk menakut-nakuti para mahasiswa yang
malas belajar.
Bertemu belahan jiwa
Seperti umumnya orang-orang yang begitu keranjingan pada
Matematika, Bekti adalah tipikal lelaki yang tak pandai mengungkapkan cinta. Tetapi
bukan berarti dia tidak romantis. Bekti, yang sejak SMA lebih akrab dengan
buku-buku Matematika ketimbang membaca Novel bertemakan cinta atau menonton sinetron
serta drama percintaan di televisi itu, terlalu lugu dalam hal asmara. Dia
adalah tipikal lelaki setia yang tak pandai bermain cinta.
Di Sultra, Bekti tidak hanya puas menemukan apa yang
disebutnya sebagai tantangan. Lebih dari itu, dia akhirnya berjumpa dengan
belahan jiwanya. So Sweet. Dan wanita
beruntung itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sumasti, kakak kelasnya saat di
STIS dulu, sang ahli PDRB kacangan dari Klaten, PLT Kasie Nerwilis BPS Kabupaten
Muna, Sulawesi Tenggara.
Tuhan konon punya catatan tentang jalan hidup semua manusia
yang pernah, sedang, dan akan hidup di dunia ini. Semuanya tersimpan secara
rapi di dalam sebuah kitab yang namanya lauh
mahfudz. Dan rupanya, menyusul Sumasti di Kabupaten Muna adalah takdir yang
telah dicatatkan Tuhan untuk jalan hidup Bekti di kitab itu.
Seperti lirik dalam lagu Pance Pondaag, hubungan antara
Bekti dan Sumasti awalnya biasa saja.
Hanya sebatas alumni STIS yang kebetulan sama-sama berasal dari Jawa Tengah.
Hanya rekan kerja, tidak lebih dari itu. Namun, seiring berjalannya waktu dan
berlalunya memon-momen yang memaksa komunikasi dan hubungan keduanya semakin
intens, benih-benih cinta itupun timbul.
Sumasti, yang semula tak begitu tertarik dengan sosok Bekti,
yang menurut dia bukan tipenya itu─ sepertihalnya Lie Min Ho atau Hyun Bin bintang Drama Korea
yang kerap kali ditontonnya─akhirnya pun jatuh hati. Singkat
cerita, kedua sejoli ini pun saling jatuh cinta. Namun sayangnya, keduanya
memiliki tipikal yang sama dalam hal asmara, yakni malu dan tak berani
mengungkapkan cinta. Di kantor, keduanya hanya saling melempar pandangan dan
senyuman yang menyiratkan sejuta makna. Nenek-nenek yang sudah pikun sekalipun
bakal tahu, kalau pandangan dan senyuman itu pertanda cinta.
Bekti, yang untuk pertamakalinya merasakan namanya kasmaran
dan tersengat api cinta itu, menjadi tak nyenyak tidurnya. Tiap malam, wajah
Sumasti yang manis itu selalu terlintas dipikirannya, membuat dia hilang
konsentrasi, tak selesai-selesai mengedit tumpukan kuesioner Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) yang sudah dikejar deadline.
Dan hal yang serupa ternyata juga dirasakan oleh Sumasti.
Akhirnya, karena tak kuat lagi memendam cinta, setelah susuh
payah mengumpulkan keberanian, Bekti memutuskan untuk mengungkapkan rasa
cintanya kepada Sumasti. Dengan cara yang unik. Kaku,kaku sekali. Sama sekali
tidak romantis. Tanpa setangkai mawar, apalagi candle light dinner.
Di ruangan kantor BPS Muna yang super sibuk karena segala
rupa jenis survei dan pendataan yang seolah tak kenal waktu datang menyambangi
itu, Bekti mengirim SMS ke ponsel Sumasti. Sumasti pun terkejut, dan segera dihinggapi
rasa penasaran akan isi SMS itu yang menurutnya rada aneh dan tak wajar. Untuk
apa Bekti kirim SMS kalau bisa ngomong langsung saat itu juga? Pasti ada yang spesial
pikirnya. Dan jangan-jangan ini merupakan jawaban akan kegundahan hatinya
belakangan ini. Ternyata betul.
SMS yang sama sekali tidak romantis itu seperti ini isinya (aslinya
dalam bahasa Jawa):
“Ti , silahkan cari di
google grafik dari persamaan ini: sqrt(cos(x))*cos(200
x)+sqrt(abs(x))-0.7)*(4-x*x)^0.01,sqrt(9-x^2) from -4.5 to 4.5. Grafik itu
menggambarkan perasaan ku padamu selama ini”
Dengan secepat kilat Sumasti, yang begitu penasaran, konek
ke internat untuk menyambangi Mbah Google. Di kotak pencarian, dia segera
mengetikkan persamaan yang dimaksud sembari berharap-herap cemas menunggu apa
yang bakal segera tersaji dihadapannya.
Setelah mununggu
semenit lebih karena koneksi koeng yang super lambat, akhirnya grafik dari
persamaan itu muncul juga. Dan seketika itu pula, wajah putih ayu Sumasti
memerah, jantungnya serasa mau copet tersengat api cinta. Sumasti larut dalam
kegirangan yang luar biasa dahsyat, yang membuatnya serasa sedang terbang
menjelajahi angkasa. Indah dan manis sekali rasanya.
Inilah grafik dari sepotong persamaan Matematika yang
membuat Sumasti mabuk kepayang dan lupa kalau sedang berada dalam ruangan
kantor sumpek yang dijejali tumpukan dokeman survei di sana-sini itu:
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar