Beberapa waktu
lalu, sosok Novi Wulandari (Novi), peraih nilai Ujian Akhir Nasional (UAN)
tertinggi kedua nasional untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
tingkat SMA, sempat melambungkan nama STIS. Betapa tidak. Menurut pemberitaan
sejumlah media, gadis asal Lamongan, Jawa Timur itu, tegas menolak tawaran bea
siswa dari sejumlah perguruan tinggi ternama, seperti UI, UGM, dan ITS. Dia malah
memutuskan untuk masuk STIS. Saya telah mengulas hal ini dalam dua tulisan saya
sebelumnya: ”Jangan Sampai Gadis Asal Lamongan Itu Patah Hati” dan “JanganSampai Gadis Asal Lamongan Itu Jadi Bonsai."
Tak bisa ditampik,
keputusan Novi di atas sedikit menerbitkan rasa bangga dalam diri saya terhadap
STIS. Dan, saya kira, hal yang sama juga terjadi pada alumni AIS/STIS yang
lain. Ini tergambar jelas pada sejumlah komentar terhadap artikel – yang
dikopas dari Kompas.com – mengenai sikap Novi yang mantap memilih STIS, yang
dimuat di portal BPS (Community.bps.go.id) pada 1 Juni 2012. Dengan
membaca satu per satu 33 komen pada artikel tersebut, secara terang kita dapat menangkap:
ada rasa bangga dan harapan semakin kuatnya (sumber daya) BPS di masa yang akan
datang.
Namun
sepertinya, rasa bangga dan harapan yang sudah terlanjur terbit di atas harus
dihela kembali. Pasalnya, ada indikasi Novi batal masuk STIS dan memilih untuk melanjutkan kuliah ke
perguruan tinggi lain yang sebelumnya telah menawarkannya bea siswa. ITS,
misalnya. Bukan karena dia yang pintar nian itu tak lolos seleksi tahap dua,
tapi karena sebab-sebab lain yang menjadikannya urung memilih STIS. Saat
menengok blog saya pagi ini, saya sedikit terkejut ketika membaca salah satu
komentar yang masuk. Pasalnya, pemilik komentar tersebut mengarah (masih perlu
diverifikasi lebih lanjut) pada Novi Wulandari. Dalam komentarnya, Novi menyatakan
bahwa dia dan keluarga telah mantap memutuskan untuk memilih ITS, bukan STIS. Berikut
adalah kutipan komentar Novi Wulandari di blog saya pagi ini.
“Assalamu'alaikum ..
sebelum baca tulisan ini..
jauh" hari,
saya dan keluarga sudah mempertimbangkan lagii..
Insya Allah saya di ITS statistika saja pak..
saya suka statistika karena bakat saya memang hitung"an..
dan ternyata saya belum sanggup jauh dari orang tua..
begitu juga mereka..
lamongan-sby cukup dekat, tiap minggu saya bisa pulang.. :)
dimana saja kita mencari ilmu, asal ada niat.
insya Allah berhasil.
terima kasih pak, saya terharu membaca tulisan ini :)”
sebelum baca tulisan ini..
jauh" hari,
saya dan keluarga sudah mempertimbangkan lagii..
Insya Allah saya di ITS statistika saja pak..
saya suka statistika karena bakat saya memang hitung"an..
dan ternyata saya belum sanggup jauh dari orang tua..
begitu juga mereka..
lamongan-sby cukup dekat, tiap minggu saya bisa pulang.. :)
dimana saja kita mencari ilmu, asal ada niat.
insya Allah berhasil.
terima kasih pak, saya terharu membaca tulisan ini :)”
Dari kutipan
di atas, tak bisa pisah jauh dari orang tua nampaknya menjadi alasan utama Novi
dan keluarga tak jadi memilih STIS. Bukan karena isi tulisan saya....hehehe, rada takut soalnya. Apapun alasannya, semoga keputusan tersebut
merupakan hasil perunangan yang dalam dan petimbangan yang matang. Kepada dek
Novi, saya kira, patut kita haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
karena telah melambungkan nama STIS. Jayalah STIS!. (*)
Komentar
Posting Komentar