Debat kedua calon
presiden 2019 bertema energi, pangan, infrastruktur, sumberdaya alam, dan
lingkungan hidup beberapa waktu lalu (17/02) menyisakan sejumlah catatan. Salah
satunya adalah lemahnya penguasaan data kedua kandidat dalam mengulas sejumlah
isu strategis di seputar tema debat.
Penguasaan data merupakan aspek penting untuk
menilai sejauh mana kedalaman pemahaman para calon terhadap masalah yang ada
secara konkret dan berbasis fakta (fact-based).
Karena itu, harapan kita adalah pada malam itu bakal terjadi adu argumen yang
diperkuat dengan data, bukan hanya sekadar komunikasi verbal yang tidak terukur
dan cendurung normatif.
Sayangnya, apa yang disuguhkan kepada publik
sepanjang debat masih jauh dari harapan. Keduanya, boleh dibilang masih gagap
dalam mengulas masalah dan beradu argumen dengan data. Meski jauh lebih baik
dari sisi penggunaan data, kandidat nomor urut 01, misalnya, beberapa kali
menyajikan data yang keliru terkait luas kebakaran hutan, produksi kelapa
sawit, dan impor jagung. Hal ini mestinya tidak terjadi ketika data telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembuatan dan evaluasi
kebijakan.
Sebaliknya, kandidat nomor urut 02 cenderung
melontarkan kritik dan mengumbar strategi kebijakan yang terkesan filosif,
normatif dan minim data meski disampaikan dengan diksi yang memikat. Ihwal
rencana menyetop semua impor pangan, misalnya, memang terdengar indah, tapi
kurang realistis dan faktanya sangat sulit untuk diwujudkan.
Nampaknya, hal ini kian menegaskan bahwa kultur data atau kultur numerikal
memang bukan merupakan tradisi kita seperti disebutkan oleh Jousairi Hasbullah
dalam tulisannya di Harian Kompas (31/07/2018) bertajuk 'Bahaya Buta Data'.
Tradisi kita adalah kultur verbal yang cenderung kualitatif, normatif, dan
terkadang subjektif.
Padahal, salah satu karakteristik utama negara
maju, titik yang selama ini kita tuju, adalah tradisi data driven debate yang kuat sebagai
ciri masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. Hal ini termanifestasi, antara
lain, melalui debat pembangunan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang
didasarkan pada data yang dipahami dan dinarasikan dengan benar. Selain itu, di
negara maju, debat calon pemimpin negara juga selalu sarat dengan data
statistik.
Jika kita menghendaki adanya keterukuran yang
berbasis fakta dan realitas yang sedang terjadi di masyarakat dalam
merencanakan, mengevaluasi, dan mengkritisi masa depan negeri ini, sudah
semestinya data, statistik, diletakkan sebagai pusat dari debat kebijakan.
Dengan demikian, debat yang terjadi benar-benar produktif, efektif dan
menyentuh pokok permasalahan.
Terkait hal ini, pernyataan ahli Statistik PBB
Enrico Giovannini berikut patut untuk disimak "If
a society does not know where it stands, it is quite difficult to decide where to
go. Data have a key role in helping policy makers and citizens to understand
facts correctly and design their future strategies. The accountability of
public debate, public policies and the democratic control on politician's
decisions can be improve if statistics, data, is put at the center of public
debate."
Karena itu, tiga debat selanjutnya harus
diramaikan dengan data, khususnya pada debat terakhir dengan tema ekonomi dan
kesejahteraan sosial, keuangan, dan investasi, serta perdagangan dan industri. Petahana
tentu saja bakal menyadur banyak data untuk menunjukkan sejumlah capaian yang
telah direngkuh selama menjalankan roda pemerintahan.
Agar berimbang, alangkah sangat elok jika pada
saat yang sama Sang Penantang menanggapinya dengan kritik dan argumen kritis
terkait sejumlah gap dan
kekurangan yang ada, lalu menawarkan alternatif strategi kebijakan baru, juga
dengan berbasis data. Dengan catatan, data yang menjadi acuan tentu saja harus
akurat dan dimaknai dengan benar.
Debat seperti ini tidak akan mereduksi
kualitas para calon karena anggapan bakal terjebak pada persoalan teknis,
terkesan kurang membumi, dan terhalangi untuk menyampaikan gagasan-gagasan
besar terkait arah pembangunan bangsa ke depan. Sebaliknya, ini akan mengangkat
kualitas mereka di mata publik, khususnya para pemilih mengambang yang belum
menentukan pilihan (undecided voters),
yang berdasarkan hasil sigi beberapa lembaga survei proporsinya masih cukup
besar.
Kelompok ini membutuhkan sesuatu yang bisa
meyakinkan mereka untuk melabuhkan pilihan. Terkait hal ini, pemahaman terhadap
realitas persoalan bangsa secara konkret dan terukur yang ditopang dengan
penguasaan data statistik yang kuat adalah salah satu strategi yang patut
dipertimbangkan oleh kedua kandidat untuk memikat mereka.
Terlepas dari itu semua, dalam membangun dan
memajukan negeri ini sudah sepatutnya kita menuju pada tradisi yang
mengedepankan keterukuran yang berbasis fakta dan bukti konkret (evidence-based) bukan terjebak pada tradisi
verbal yang kadang kala mengaburkan realitas yang sedang terjadi, yang membikin
kita kalau tidak "kelewat pede" (over
optimistic), terlalu pesimis. Jika hal ini terus berlanjut kita bakal kian
tertinggal, dan ini amat berbahaya bagi kelangsungan hidup kita sebagai bangsa.
(*)
Komentar
Posting Komentar