Langsung ke konten utama

Tingkat Kebahagiaan dan Korupsi


World Happiness Report 2015 yang diluncurkan di New York, Amerika Serikat, pada 23 April lalu menyebutkan bahwa peringkat kebahagiaan Indonesia berada pada posisi ke-74 dari 158 negara dengan skor sebesar 5,399. Dibandingkan dengan laporan yang sama pada 2013 lalu posisi Indonesia naik dua peringkat. Pada World Happiness Report 2013 Indonesia berada di urutan ke-76 dari 156 negara dengan skor sebesar 5,348.
Di kawasan ASEAN, peringkat kebahagiaan Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Singapura (24), Thailand (34), dan Malaysia (61). Namun demikian, peringkat Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Vietnam (75) dan Filipina (90).
World Happiness Report  merupakan laporan tahunan ketiga yang mengukur kebahagiaan negara-negara di dunia. Variabel penilaian yang digunakan untuk pengukuran kebahagiaan meliputi PDB per kapita, harapan hidup sehat, kebebasan dalam membuat pilihan, kebebasan dari korupsi, dan dukungan sosial.
Di antara variabel-varibel tersebut, kontribusi dominan terhadap skor kebahagiaan Indonesia disumbang oleh PDB per kapita dan dukungan sosial. Soal kontribusi dominan PDB per kapita hal ini tidak terlepas dari kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini menempati posisi ke-9 terbesar di dunia dengan PDB dalam dolar paritas daya beli (PPP) sebesar US$2.399 miliar.
Sementara kontribusi dominan variabel dukungan sosial memberi konfirmasi bahwa orang Indonesia umumnya merasa aman ketika dihadapkan pada kesulitan karena memiliki keluarga atau teman yang siap membantu kapanpun mereka membutuhkan pertolongan. Tidak berlebihan jika hal tersebut, boleh dibilang, juga menunjukkan bahwa orang Indonesia memiliki jiwa tolong-menolong yang cukup baik.
Yang menarik untuk dicermati adalah nihilnya kontribusi variabel kebebasan dari korupsi terhadap skor total kebahagiaan penduduk Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi yang menyebar secara masif, baik di pemerintahan maupun lingkungan bisnis, telah mereduksi kebahagiaan penduduk Indonesia. Karena itu, hal ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi harus dibuktikan.
World Happiness Report pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap indikator-indikator ekonomi, utamanya PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi, dalam mengukur dimensi kesejahteraan (well-being). Pasalnya, indikator-indikator tersebut kerap bias dan tidak sejalan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pengalaman Indonesia adalah contoh terbaik untuk menunjukkan bahwa angka-angka Produk Domestik Bruro (PDB) dan pertumbuhannya acap kali memiliki korelasi yang lemah dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selama dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi—yang pada saat yang sama juga menunjukkan peningkatan nilai PDB—cukup mengesankan dengan rata-rata berada pada kisaran 5-6 persen per tahun. Namun sayangnya, pertumbuhan tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat bahkan cenderung lebih dinikmati oleh kelompok kelas menengah dan kaya.
Hal itu tercermin dari peningkatan nilai indeks gini—indikator yang mengukur ketimpangan distribusi pendapatan di antara kelompok masyarakat—secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013, indeks gini Indonesia sudah mencapai 0,41. Itu artinya, ketimpangan distribusi pendapatan telah memasuki skala medium.
Ketimpangan ekonomi yang kian melebar pada dasarnya adalah bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa meledak dalam rupa konflik sosial yang dipicu oleh rasa ketidakadilan ekonomi dan kohesi sosial-politik yang semakin melemah. Karena itu, tantangan pemerintah bukan hanya menggenjot pertumbuhan ekonomi, tapi juga mewujudkan pemerataan (growth with equity). Pendek kata, pemerintah harus hadir untuk mensejahterakan semua rakyatnya.
Itulah sebab, pengukuran kebahagiaan dalam World Happiness Report tidak hanya memperhitungkan variabel ekonomi, yang dalam hal ini diwakili oleh PDB per kapita, tapi juga variabel-variabel lain (non-moneter) yang juga memengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Konsekuensinya, meskipun secara ekonomi China dan India menempati posisi ke-2 dan ke-3 terbesar dunia dengan PDB dalam dolar PPP masing-masing sebesar US$16.158 miliar dan US$6.774 miliar, peringkat kebahagian kedua negara raksasa ekonomi dunia tersebut jauh di bawah Indonesia. Dalam soal kebahagiaan, China berada pada peringkat ke-84 dengan skor sebesar 5,140, sementara India berada pada peringkat ke-117 dengan skor 4,565.
Swiss adalah contoh terbaik bagi Indonesia. Negara tersebut mampu menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan non-ekonomi. Sehingga dinobatkan sebagai negara terbahagia dalam World Happiness Report 2015 dengan skor kebahagian sebesar 7,587. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...