Wajar bila sejumlah kalangan
mempersoalkan langgam menteri Susi yang suka merokok. Apalagi aktivitas merokok
tersebut beliau lakukan di tempat publik, di halaman Istana Negara. Masalah
rokok bukan sekedar soal attitude, tapi juga soal kesehatan. Tak
bisa ditampik, semua dokter di muka bumi—terlepas ia sekuler atau
religius—telah sepakat bahwa rokok lebih besar mudaratnya dan nihil manfaatnya.
Faktanya, meski kegiatan merokok lebih
diasosiasikan dengan kaum pria—yang dianggap oleh sejumlah kalangan sebagai
simbol kejantanan dan kematangan—korban paparan asap rokok dari kalangan
perempuan ternyata cukup tinggi. Sebagai perokok pasif (second-hand smoke)
perempuan sangat rentan terserang sejumlah penyakit kronis yang disebabkan
paparan asap rokok, misalnya, kanker paru-paru.
Pada tahun 2012, seorang kawan saya
didiagnosis mengidap kanker paru. Awalnya hanya batuk biasa. Karena sakit
batuknya tak kunjung reda, ia kemudian memeriksakan diri ke dokter. Malang
nasibnya, kanker yang bersarang di dalam tubuhnya ternyata sudah kronik.
Stadium empat! Dokter pun memvonis ia hanya bakal bertahan hidup selama enam
bulan.
Seberapa panjang usia seseorang memang
urusan Tuhan. Tapi, hasil diagnosis dan vonis dari dokter telah membuatnya
terpukul, meski ia belum hilang harapan. Pengalaman menunjukkan, mereka yang
mengidap kanker paru—apalagi sudah memasuki stadium lanjut—memang tak berumur
panjang. Hari-hari yang dilalui ibarat penantian menunggu ajal menjemput.
Memang tak pasti kapan datangnya. Tapi dari hari ke hari kian dekat. Enam
bulan, kurang lebih.
Hebatnya, ia tak patah arang. Ia
berusaha melawan kanker yang dari hari ke hari kian progressif dan menggerogoti
tubuhnya yang kian ringkih. Berbagai macam pengobatan untuk merengkuh
kesembuhan dicobanya, medis maupun alternatif. Senyum dan tawa juga sesekali tetap
menghiasi wajahnya.
Apa daya, sel kanker ternyata terlalu
kuat. Kawan saya itu akhirnya kalah setelah berjuang cukup lama. Vonis dokter
hanya meleset dua bulan. Pada awal tahun 2013, ia mengembuskan nafas terakhir
di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta.
Kuat dugaan, penyebab kanker paru yang
diidap kawan saya adalah paparan asap rokok. Suaminya adalah seorang perokok
berat. Dan, ia setia menjadi perokok pasif selama lebih dari dua puluh tahun.
Apa yang dialami kawan saya ini
merupakan gambaran betapa besarnya bahaya yang mengintai para perokok pasif di
negeri ini. Negeri yang dihuni oleh 60 juta perokok aktif, 4 persen dari
seluruh perokok di dunia (World Tobacco Atlas, 2012). Saban hari mereka
membakar 720 juta batang rokok yang asapnya mengepul ke mana-mana, menyebarkan
berbagai macam racun dan penyakit.
Soal bahaya paparan asap rokok bagi
kesehatan saya kira tak usah dibahas lagi. Faktanya, dalam sebatang rokok saja
terkandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun. Celakanya, bahaya asap rokok
juga mengintai mereka yang tidak merokok, namun terkena paparan asap rokok
alias perokok pasif. Naasnya, sebagian besar perokok pasif yang menjadi korban
paparan asap rokok selama ini adalah kaum wanita.
Pada tahun 2004, misalnya, sekitar 600
ribu perokok pasif di dunia meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh
paparan asap rokok. Dan, 47 persen di antaranya adalah kaum wanita. Karena itu,
para perokok aktif di negeri ini seharusnya sadar bahwa aktivitas merokok yang
mereka lakukan juga berbahaya bagi kesehatan orang-orang di sekelilingnya.
Orang-orang yang mereka cintai: anak, istri/suami, sahabat, dan keluarganya.
Sayangnya, meski bahaya yang ditimbulkan
oleh paparan asap rokok sudah mengintai di depan mata, regulasi dalam soal
pembatasan konsumsi rokok dan tembakau di negeri ini termasuk salah satu yang
terlemah di dunia. Pendek kata, negeri ini adalah surga bagi para perokok dan
produsen rokok. Kampanye anti rokok seolah begitu-begitu saja. Memang ada
sedikit peningkatan. Tapi itu hanya sebatas tambahan kalimat “Rokok Membuhmu”
dan gambar menyeramkan pada bungkus rokok.
Pemerintah seolah takluk dengan
kepentingan para pelaku industri rokok dan tembakau. Hal ini tercermin dari
posisi Indonesia sebagai satu-satunya negera di Asia yang belum meratifikasi
dan memberlakukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebuah
kerangka kerja yang mengontrol konsumsi tembakau.
Terlepas dari pertimbangan ekonomi,
pemerintah seharusnya sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok.
Sudah sepatutnya, pemerintah melakukan upaya-upaya serius untuk mengendalikan
konsumsi rokok dan tembakau, baik itu melalui regulasi yang ketat maupun
kampanye anti rokok yang lebih “keras”.
Terkait kampanye anti rokok, aktivitas
merokok yang dilakukan menteri Susi boleh dibilang sebuah pukulan telak. Tentu
saja tidak make sense bila kita menghubungkan kinerja dan
kapabilitas beliau sebagi menteri dan kegandrungannya pada pada rokok, karena
memang kedua hal ini tak ada korelasinya. Tapi beliau adalah seorang menteri
dan pejabat negara, tempat orang mengambil contoh dan panutan—termasuk dalam
soal merokok. (*)
Komentar
Posting Komentar