Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Padi tahun 2017
(SOUT 2017) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini
mengungkap sejumlah fakta miris terkait usaha tanaman padi di Tanah Air.
Profil petani padi kita kian mengkhawatirkan karena
didominasi oleh generasi tua dan berpendidikan rendah. Alhasil, inovasi di
sektor pertanian tanaman pangan, khususnya padi, dihadapkan pada tantangan yang
kian berat, yakni daya dukung sumber daya manusia yang lemah.
SOUT 2017 memotret struktur ongkos usaha tanaman padi secara
nasional. Selain informasi ini, survei ini juga mengumpulkan sejumlah informasi
tambahan terkait profil petani padi Tanah Air dan kegiatan budidiaya yang
mereka lakukan, seperti kendala usaha, penggunaan alat dan mesin pertanian
(alsintan), dan penguasaan lahan pertanian.
Apakah petani untung?
Hasil survei menunjukkan bahwa nilai produksi yang diperoleh dari membudidayakan tanaman padi sawah seluas satu hektar rata-rata mencapai sekitar Rp18,5 juta per musim tanam. Sementara ongkos produksi yang dikeluarkan untuk nilai produksi tersebut mencapai Rp13,6 juta.
Hasil survei menunjukkan bahwa nilai produksi yang diperoleh dari membudidayakan tanaman padi sawah seluas satu hektar rata-rata mencapai sekitar Rp18,5 juta per musim tanam. Sementara ongkos produksi yang dikeluarkan untuk nilai produksi tersebut mencapai Rp13,6 juta.
Itu artinya, rata-rata pendapatan yang diperoleh dari
membudidayakan satu hektar tanaman padi sawah sebesar Rp5 juta per musim tanam
atau sekitar Rp1,2 juta per bulan.
Patut diperhatikan, ongkos produksi sebesar Rp18,6 juta juga
mencakup perkiraaan biaya untuk faktor produksi milik sendiri (contoh: sewa
lahan pertanian dan alsintan milik sendiri) dan ongkos input produksi yang
diperoleh tanpa harus membeli. Jika semua komponen biaya ini dikeluarkan dari
perhitungan, total keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp8-9 juta per
hektar per musim tanam.
Keuntungan yang nampaknya boleh dibilang lumayan. Tapi
tunggu dulu. Faktanya, sebagian besar petani padi kita merupakan petani gurem
dengan penguasaan lahan sawah kurang dari setengah hektar. Dengan lahan garapan
seluas ini, bisa dibayangkan seberapa besar keuntungan yang bisa diperoleh dari
membudidayakan tanaman padi, tentu saja sangat kecil dan boleh jadi buntung
alias merugi.
Kondisi ini kian diperparah dengan distribusi penguasaan
lahan yang sangat timpang. Hasil perhitungan INDEF dengan menggunakan hasil
Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa rasio Gini penguasaan lahan pertanian
mencapai 0,64. Angka ini sejatinya memperlihatkan bahwa sebagian besar lahan
yang ada dikuasai oleh segelintir "petani".
Struktur ongkos budidaya padi sawah menunjukkan sebagian
besar biaya produksi dialokasikan untuk tenaga kerja dan jasa pertanian, yang
mencapai Rp6,6 juta rupiah per hektar per musim tanam atau mencakup sekitar
48,8 persen dari total biaya produksi. Hal ini memperlihatkan bahwa usaha
tanaman padi di Tanah Air cenderung bersifat padat karya.
Sementara itu, pengeluaran input produksi yang berkontribusi
cukup signifikan terhadap total ongkos adalah biaya pupuk yang mencapai Rp1,3
juta (9,43 persen) per hektar per musim tanam. Hal ini mengkonfirmasi bahwa
subsidi pupuk dibutuhkan oleh petani kita untuk menakan biaya produksi.
Tua dan berpendidikan
rendah
Tampaknya, akses terhadapa lahan yang sulit dan keuntungan ekonomi yang tidak terlalu menggairahkan inilah yang menjadi penyebab utama regenerasi petani kita jalan di tempat. Budidaya tanaman padi tak lagi menarik bagi generasi muda dan kian ditinggalkan. Tidak mengherankan jika mereka yang bergelut dalam budidaya tanaman padi sawah memiliki profil yang jauh dari ideal (generasi tua dan berpendidikan rendah).
Tampaknya, akses terhadapa lahan yang sulit dan keuntungan ekonomi yang tidak terlalu menggairahkan inilah yang menjadi penyebab utama regenerasi petani kita jalan di tempat. Budidaya tanaman padi tak lagi menarik bagi generasi muda dan kian ditinggalkan. Tidak mengherankan jika mereka yang bergelut dalam budidaya tanaman padi sawah memiliki profil yang jauh dari ideal (generasi tua dan berpendidikan rendah).
Terkait hal ini, hasil SOUT 2017 mengungkap fakta yang
sangat miris. Betapa tidak, sekitar 61 persen petani padi sawah kita ternyata
berumur lima puluh tahun ke atas. Hanya sekitar 13 persen yang berumur 25-39
tahun.
Selain itu, yang juga tak kalah miris, sebanyak 68 persen
petani padi sawah kita hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah dasar (26
persen tidak bersekolah/tamat SD).
Hal ini tentu saja merupakan ancaman nyata terhadap
keberlanjutan produksi beras kita di masa datang. Tampaknya akan tiba masanya
ketika impor beras sudah tak perlu lagi diributkan seperti yang kerap terjadi
selama ini karena produksi dalam negeri yang tak lagi mencukupi.
Pasalnya, pola diet masyarakat Indonesia masih bertumpu pada
beras sebagai sumber pemenuhan karbohidrat utama. Sementara jumlah penduduk
Indonesia bertambah rata-rata sekitar 4 juta jiwa per tahun dengan angka
konsumsi beras per kapita mencapai 114 kg per tahun. (*)
Komentar
Posting Komentar