Kita memiliki harga
diri yang tinggi sebagai negara agraris. Karena itu, importasi komoditas
pangan, terutama yang bisa dihasilkan oleh petani kita, merupakan sebuah aib
dan cela.
Tengok saja komoditas
beras. Pro dan kontra di berbagai media acapkali mewarnai debat publik terkait
importasi komoditas ini. Sebagai sumber utama pemenuhan karbohidrat masyarakat
Indonesia, boleh dibilang beras merupakan komoditas pangan paling strategis
yang kerap membikin gaduh negeri ini.
Data statistik
memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam
mengkonsumsi beras mencapai lebih dari 80 persen. Itu artinya, hampir seluruh
masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok dan sumber
karbohidrat. Tidak mengherankan kalau ungkapan “bukan makan namanya, kalau
tanpa nasi” acap kali kita dengar untuk menekankan pentingnya posisi beras
dalam pola diet masyarakat Indonesia.
Impor beras tidak
hanya menyangkut harga diri sebagai bangsa agraris, tapi juga nasib belasan
juta rumah tangga petani padi yang kepulan asap dapurnya sangat bergantung pada
perkembangan harga gabah.
Jika impor beras
dilakukan saat produksi padi petani kita melimpah, harga gabah bakal jatuh. Hasil
panen padi pun bisa jadi tidak mampu menutupi biaya produksi. Kalaupun untung,
keuntungan yang diperoleh kemungkinan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Karena itu, slogan
swasembada beras merupakan harga mati dan selalu menjadi agenda prioritas
pembangunan nasional. Upaya yang dikerahkan untuk mewujudkan swasembada beras
juga tidak main-main. Triliunan rupiah telah digelontorkan pemerintah hanya
untuk sekadar meningkatkan produksi padi nasional.
Sayangnya, meski
pemerintah telah berupaya maksimal dengan mengalokasikan sumber daya yang tidak
sedikit, swasembada beras masih jauh panggang dari api. Faktanya, menurut
catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu impor beras nasional mencapai
0,86 juta ton. Tahun ini angkanya dipastikan lebih tinggi lagi. Betapa tidak,
realisasi impor beras sepanjang Januari-April saja sudah menyentuh 1,02 juta
ton.
Persoalan yang terjadi
pada komoditas pangan lainnya, seperti jagung dan kedelai juga setali tiga
uang. Swasembada baru sekadar mimpi. Untuk komoditas kedelai bahkan masalahnya
lebih akut. Bayangkan, 60 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari
impor. Kita mungkin bangga dengan panganan lokal tempe-tahu. Tapi apalah
artinya kebanggaan itu jika bahan bakunya diimpor dari Amerika Serikat, transgenik
pula.
Mengapa swasembada
beras dan juga komoditas tanaman pangan lainnya begitu sulit kita rengkuh?
Artikel singkat ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan
salah satu kendala utama yang merintangi jalan menuju swasembada: daya dukung
petani yang rendah.
Tak bisa dimungkiri,
petani kita sejatinya merupakan aktor utama dalam mewujudkan swasembada pangan.
Tanpa mereka, tak usah bermimpi untuk swasembada. Sayangnya, dewasa ini daya
dukung mereka tidak optimal karena jeratan kemiskinan, umur yang kian tua, dan
kapabiltas yang rendah.
Hingga kini, sektor
pertanian masih menjadi pusat kemiskinan. BPS mencatat, sekitar 63 persen
penduduk miskin negeri ini merupakan masyarakat pedesaan. Sementara hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional memperlihatkan bahwa mayoritas rumah tangga
miskin (67,26 persen) di daerah pedesaan merupakan rumah tangga dengan lapangan
pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.
Kondisi kemiskinan di
sektor pertanian sejalan dengan fakta bahwa selama ini tingkat kesejahteraan
petani kita cenderung stagnan. Tengoklah perkembangan indeks nilai tukar petani
(NTP). Indikator yang dinggap menjelaskan perkembangan tingkat kesejahteraan
petani itu dalam sepuluh tahun terakhir angkanya seolah begitu-begitu saja: stagnan.
Konsekuensinya, kultur
dan hastrat bertani kian tergerus. Karena identik dengan kemiskinan, bertani
merupakan pilihan terakhir bagi penduduk perdesaan untuk bertahan hidup. Pendek
kata, sektor pertanian tak lagi menarik secara ekonomi dan kian ditinggalkan.
Hasil Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan bahwa sepanjang 2003-2013, rumah
tangga usaha tani berkurang sebanyak 5,10 juta rumah tangga (16,32
persen).
Transformasi struktur
ekonomi memang tak bisa dilawan. Mau tak mau kita harus beranjak dari negara
yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian (agraris) menuju negara
yang bertumpu pada sektor industri dan jasa. Namun, ada yang patut didawaspadai
dari tren penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian tersebut.
Jika dicermati,
penurunan jumlah petani dalam sepuluh tahun terakhir ternyata sebagian besar
terjadi pada kelompok usia muda. Itu artinya, selama ini regenerasi petani
jalan ditempat. Tidak mengherankan bila kini petani kita didominasi kelompok
usia tua.
Data BPS meunjukkan
bahwa sepanjang 2008-2014 persentase petani padi sawah berumur di atas 50 tahun
meningkat tajam dari 20,19 persen menjadi 52,07 persen, sementara pada saat
yang sama persentase petani padi sawah berumur di bawah 35 tahun justru menurun
tajam dari 25,93 persen menjadi 8,14 persen. Pola yang sama juga terjadi pada
petani jagung dan kedelai.
Jika tren seperti ini
terus berlanjut, tentu sangat berbahaya. Bagaimana caranya kita memenuhi
kebutuhan pangan dari produksi sendiri kalau tak ada lagi yang menjadi petani?
Ini bukan lagi sebatas persoalan harga diri sebagai negara agraris, tapi
kedaulatan dan keberlangsungan produksi pangan kita.
Persoalan semakin
pelik karena selain didominasi kelompok usia tua, mayoritas petani kita
memiliki tingkat kapabilitas yang rendah. Bayangkan, sekitar 70 persen petani
tanaman pangan negeri ini hanya tamatan SD atau tidak tamat SD. Tak
mengherankan jika produktivitas dan efisiensi usaha tani mereka relatif rendah.
Miskin, tua, dan
memiliki kapabilitas yang rendah tentu sebuah kombinasi yang buruk. Sulit
rasanya kita bakal merengkuh swasembada di tengah kondisi sebagian besar petani
kita seperti demikian. Karena itu, pemerintah jangan hanya berkutat pada
peningkatan produksi komoditas pertanian namun mengabaikan pembangunan
pedesaan.
Selain berfokus pada
peningkatan produksi untuk mewujudkan swasembada, pada saat yang sama
pemerintah juga harus mendorong regenerasi dan peningkatan kapabilitas petani
melalui perangkat kebijakan yang mendukung peningkatan taraf hidup petani
dan masyarakat pedesaan. Dengan demikian, pertanian tetap menjadi lapangan
pekerjaan yang menarik, terutama bagi generasi muda, dan dijalankan oleh mereka
yang memiliki kapabilitas yang mumpuni. (*)
Komentar
Posting Komentar