Belum lama ini pemberitaan media sempat diramaikan dengan polemik tentang beras. Musababnya, harga komoditas ini melambung tinggi hingga melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Oleh sebagian kalangan, kenaikan harga beras ini dianggap tidak sejalan dengan klaim pemerintah bahwa produksi beras nasional pada 2017 cukup melimpah. Diketahui, Kementerian Pertanian melaporkan bahwa produksi padi nasional dalam kualitas gabah kering giling (GKG) diperkirakan mencapai 81 juta ton sepanjang 2017. Jika menggunakan laju konversi gabah ke beras sebesar 0,57, produksi padi tersebut setara dengan 46 juta ton beras untuk konsumsi pangan penduduk.
Pada saat yang sama, kebutuhan beras nasional pada 2017 hanya sekitar 32 juta ton dengan asumsi bahwa angka konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia sebesar 124,89 kilogram per tahun seperti yang dilaporkan Badan Perencanaan Pembanganunan Nasional. Itu artinya, terdapat surplus beras hingga 14 juta ton. Dengan angka yang fantastis ini, gejolak harga beras dalam dua bulan terakhir yang merupakan indikasi kekurangan suplai seharusnya tidak terjadi. Namun, raelitasnya tidak demikian.
Tak mau ambil risiko, pemerintah akhirnya memutuskan untuk membuka keran impor beras sebanyak 500 ribu ton. Langkah ini lagi-lagi menuai polemik karena antiklimaks dengan komitmen politik pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Selain itu, meski importasi beras merupakan jalan pintas untuk stabilisasi harga, kebijakan ini berpotensi merugikan petani akibat jatuhnya harga gabah di tingkat petani jika impor dilakukan bukan pada momentum yang tepat (panen raya).
Mengapa komoditas beras seolah tak pernah henti menyulut polemik dan membikin ribut negeri ini?
Semua ini berawal dari kebijakan yang keliru pada masa Orde Baru: "berasisasi". Kebijakan ini terimplementasi pada semua lini terkait beras yang mencakup produksi, subsidi, dan konsumsi. Salah satu dampak buruk dari berasisasi adalah ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai sumber pemenuhan karbohidrat atau makanan pokok utama sangat tinggi.
Hal ini terjadi karena dari sisi konsumsi, beras berhasil menggeser posisi komoditas pangan non-beras dalam pola diet masyarakat Indonesia terkait asupan karbohidrat. Alhasil, orang Madura meninggalkan nasi jagung, orang Papua meninggalkan umbi-umbian, dan penduduk kawasan Timur Indonesia yang semula terbiasa mengandalkan komoditas pangan non-beras seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian menjadi sangat tergantung pada beras.
Beras kemudian menjadi simbol kemapanan sosial dan ekonomi seperti personifikasi padi dalam mitologi Jawa sebagai Dewi Sri yang merupakan perlambang kemakmuran dan kesejahteraan. Orang lalu dianggap turun kelas jika mengkonsumsi komoditas pangan non-beras. Dalam sebuah kesempatan, Profesor Usman Rianse yang merupakan mantan Rektor Universitas Haluoleo menyatakan bahwa motivasi utamanya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) adalah ingin makan nasi. Pasalnya di kampungnya, sebuah desa di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, yang mengandalkan jagung sebagai makanan pokok, beras hanya dikonsumsi oleh amtener atau PNS (Media Indonesia, 6 Maret 2015).
Saat ini, masyarakat Indonesia boleh dibilang merupakan konsumen beras terbanyak di dunia dengan angka konsumsi per kapita mencapai 124,89 kg per tahun. Partisipasi masyarakat dalam mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok utama juga sudah di atas 80 persen. Itu artinya, hampir seluruh orang Indonesia mengandalkan beras sebagai sumber utama pemenuhan karbohidrat.
Dominasi beras dalam pola diet orang Indonesia memiliki konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik. Dari sisi ekonomi, porsi alokasi pengeluaran untuk beras cukup besar dalam struktur pengeluaran masyarat Indonesia. Pada kelompok masyarakat miskin, proporsi pengeluaran untuk beras bahkan bisa mencapai lebih dari 50 persen dari total pengeluaran. Tidak membikin heran jika beras merupakan kontributor utama dalam perhitungan garis kemiskinan. Karena itu, harga beras bertalian erat dengan nasib puluhan juta penduduk miskin. Kenaikan harga beras akan menurunkan daya beli masyarakat. Jika kenaikan harga tidak terkendali konsekuensinya sangat jelas: jumlah penduduk miskin bertambah dan kehidupan masyarakat miskin akan semakin memburuk.
Inflasi yang merupakan salah satu indikator stabilitas ekonomi makro dan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan usaha juga sangat sensitif terhadap pergerakan harga beras. Hal ini terjadi karena kontribusi beras dalam perhitungan inflasi sangat besar pada kelompok bahan makanan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa kenaikan harga beras merupakan kontributor utama inflasi Januari 2018. BPS melaporkan inflasi Januari 2018 sebesar 0,62 persen dan kontribusi kenaikan harga beras mencapai 0,24 persen.
Urgensi beras yang sangat vital secara sosial dan ekonomi menjadikannya komoditas yang sangat strategis dari sisi politik. Ketersediannya dengan harga yang terjangkau dan dalam jumlah yang mencukupi dari produksi dalam negeri (swasembada) merupakan tolak ukur utama keberhasilan pemerintah di bidang pangan. Sejarah negeri ini membuktikan, gejolak harga beras karena kelangkaan pasokan merupakan salah satu faktor utama penyulut gejolak politik yang berujung pada tumbangnya rezim yang berkuasa.
Tidak membikin heran jika isu swasembada beras selalu menjadi komitmen politik pemerintah. Anggaran yang digelontorkan untuk mengamankan produksi beras dalam negeri juga sangat besar. Celakanya, seperti yang disampaikan banyak pengamat pertanian, hal ini menjadikan pemerintah kerap terjebak dalam bias beras dalam kebijakan pangan nasional. Tak bisa dipungkuri, meski cakupan komoditas pangan sangat luas, urusan pangan selalu identik dengan beras. Dan hal ini, hanya bisa dihilangkan jika ketergantungan terhadap beras dapat dikikis dengan mendorong diversifikasi pangan. Dengan kata lain, konsumsi pangan lokal selian beras harus digalakkan. Sebuah pekerjaan mengubah habitus yang tentu saja tidak mudah. (*)
Komentar
Posting Komentar