Langsung ke konten utama

Masa Depan Indonesia

Seorang kawan yang tengah menempuh pendidikan di University of Sydney pernah mengungkapkan keheranannya di media sosial ihwal kampusnya yang diramaikan oleh mahasiswa asal China. Jumlah mereka tidak hanya jauh mengungguli mahasiswa international dari negara lain tapi juga mahasiswa asli Australia. Karena pengalaman ini, ia merasa tidak sedang berkuliah di Australia melainkan di Tiongkok.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena seperti ini jamak dijumpai di kampus-kampus bergengsi Australia, khususnya institusi pendidikan tinggi yang tergabung dalam kelompok group of eight(Australian National University, University of Melbourne, University of Sydney, Monash University, University of Queensland, University of New South Walles, University of Western Australia, dan University of Adelaide).
Saya sering termangu ketika berada dalam sebuah kelas pascasarjana atau laboratorium komputer di Monash University yang dipenuhi oleh mahasiswa asal China dan hanya segelintir mahasiswa internasional dari negara lain.
Dominasi mahasiswa internasional asal China di kampus-kampus utama Australia sejatinya merupakan represantasi kedigdayaan ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut yang saat ini sedang onfire.
Tak seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia yang datang ke Australia dengan beasiswa, rata-rata mahasiswa asal China berkuliah di Australia dengan biaya sendiri. Padahal biaya pendidikan tinggi di negeri kanguru lumayan merogoh kocek. Sebagai gambaran, biaya yang harus dikeluarkan untuk satu mata kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Monash University,  misalnya rata-rata berkisar antara Rp45 juta hingga Rp50 juta.
Fenomena ini tentu saja merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi China yang sangat mengesankan selama dua dekade terakhir. Keberhasilan China dalam memacu pertumbuhan ekonominya telah menjadikan 399 juta populasinya termasuk ke dalam kelompok pendapatan kelas menengah (middle class) alias orang kaya baru. Sekadar diketahui, kategori kelompok kelas menengah mengacu pada rumah tangga dengan pendapatan sebesar US$9.000-US$34.000 per tahun.
Menurut McKinsey, pada tahun 2012 sekitar 68 persen rumah tangga di wilayah perkotaan China merupakan kelas menengah dengan rincian 54 persen kategori mass middle class (pendapatan: US$9.000-US$16.000) dan 14 persen kategori upper middle class (pendapatan: US$16.000-US$34.000). Angka ini terus bertumbuh seiring moncernya kinerja ekonomi Tiongkok. Pada 2022, sekitar 550 juta populasi China diproyeksikan termasuk dalam kelompok kelas menengah.
Pada saat yang sama, keberhasilan program one child policy atau satu anak untuk setiap satu keluarga menjadikan rata-rata rumah tangga di China hanya terdiri dari tiga orang. Itu artinya, mahasiswa China yang sedang berkuliah di Australia dan negara-negara lain yang menjadi tujuan utama mahasiswa internasional merupakan anak satu-satunya dengan kemampuan konsumsi dan daya beli yang sangat tinggi.
Tidak mengherankan jika Australia menjadi salah satu negara yang menuai berkah dari fenomena ini. Faktanya, keberadaan mahasiswa internasional asal Tiongkok telah berkontribusi signifikan dalam menggerakkan perekonomian kota-kota besar di Austrlia yang menjadi pusat pendidikan, seperti Sydney dan Melbourne. Saat ini, penerimaan dari sektor pendidikan tinggi menempati posisi kedua setelah penerimaan dari sektor parawisata di Australia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Harus diakui bahwa saat ini jumlah mahasiswa internasional asal Indonesia di Australia masih kalah jauh dibanding negara-negara utama di Asia seperti China dan India. Di kawasan ASEAN, Indonesia bahkan masih kalah dibanding Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati karena seiring dengan perekonomian Indonesia yang terus tumbuh secara stabil, jumlah mahasiswa internasional asal Indonesia dipastikan akan terus bertambah di masa yang akan datang.
Dengan segala potensi yang dimiliki, Indonesia sejatinya adalah raksasa yang sedang tidur. Hanya soal waktu, negeri ini akan menjadi salah satu pemain kunci di kancah ekonomi global. Alasannya sederhana, kita memiliki semua potensi yang dibutuhkan untuk itu. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah penduduk besar yang didominasi oleh kelompok usia produktif (antara 15 dan 65 tahun) hingga beberapa dekade mendatang adalah di antaranya.
Saat ini, Indonesia sedang menikmati bonus demografi yang ditandai dengan komposisi penduduk yang didominasi kelompok usia produktif. Hal ini merupakan potensi  besar yang bila dikelola secara optimal bakal menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang.
Tidak mengherankan jika hasil proyeksi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional menunjukkan bahwa masa depan ekonomi Indonesia sangat cerah di masa mendatang. Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) beberapa waktu yang lalu, misalnya, memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian nomor lima terbesar di dunia pada 2030 setelah Amerika Serikat, China, India, dan Jepang.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia diproyeksikan bakal mencapai US$5,424 triliun pada 2030. Saat itu,  populasi Indonesia yang termasuk kelas menengah diperkirakan bakal mencapai 135 juta orang. Patut dicatat bahwa semua ini didasarkan pada asumsi yang boleh dibilang relatif moderat, misalnya angka pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5-6 persen per tahun. Padahal Indonesia sejatinya memiliki potensi lebih besar dari itu.
Pendek kata, Indonesia saat ini tengah berada pada jalur yang tepat untuk menjadi negara maju. Kita hanya perlu sedikit bersabar dan terus menjaga momentum. Pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan harus terus dipacu melalui investasi dan industrialisasi (diversifikasi ekonomi). Dengan demikian, perekonomian Indonesia kedepan tidak lagi bergantung pada sektor primer atau ekspor komoditas.
Birokrasi yang tidak efisien dan korupsi yang  mengakibatkan kebocoran anggaran negara serta mahalnya ongkos pembangunan juga harus terus diberantas. Pada saat yang sama, investasi sumber daya manusia (human capital) di bidang pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas. Karena hanya dengan itu, manfaat dari bonus demografi dapat dimaksimalkan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...