Statistik upah kondisi Februari 2018 yang dirilis Badan
Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengungkap fakta menarik tentang
ketimpangan upah/gaji antara buruh/pegawai/karyawan perempuan dan laki-laki di
Indonesia.
BPS mencatat, rata-rata upah/gaji buruh/pegawai/karyawan
perempuan sebesar 2,21 juta rupiah per bulan, lebih rendah dibanding rata-rata
upah/gaji buruh/pegawai/karyawan laki-laki yang mencapai 2,91 juta rupiah per
bulan. Itu artinya, kesenjangan upah/gaji menurut gender (gender wages gap) di
Tanah Air mencapai sekitar 32 persen.
BPS mendefenisikan upah sebagai imbalan/balas jasa yang
diterima buruh/karyawan/pegawai selama sebulan yang lalu dari pekerjaan utama,
yang terdiri dari komponen upah/gaji pokok dan tunjangan, baik berupa uang
maupun barang yang dibayarkan oleh perusahaan/kantor/majikan.
Jika ditelaah lebih jauh, upah buruh/pegawai/karyawan
perempuan lebih rendah dibanding buruh/pegawai/karyawan laki-laki di sebagian
besar lapangan pekerjaan. Upah buruh/karyawan/pegawai perempuan tercatat lebih
tinggi di banding buruh/pegawai/laki-laki hanya pada sektor transportasi dan
pergudangan, konstruksi, dan real estate.
Hal ini nampaknya disebabkan buruh/pegawai/karyawan
perempuan yang bergelut pada ketiga sektor ini secara rata-rata memiliki
kualifikasi dan posisi yang lebih baik dibanding buruh/karyawan/pegawai
laki-laki.
Kesenjangan upah juga eksis antara buruh/pegawai/karyawan
perempuan dan laki-laki menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Fakta ini
menunjukkan bahwa secara umum buruh/pegawai/karyawan perempun memperoleh upah
yang lebih rendah dibanding laki-laki meski memiliki tingkat pendidikan yang
sama.
BPS mencatat kesenjangan tertinggi terjadi pada kelompok
buruh/pegawai/karyawan dengan pendidikan tertinggi sarjana, di mana upah
buruh/pegawai/karyawan perempuan tercatat lebih rendah sekitar 1,65 juta rupiah
per bulan atau sekitar 46 persen dibanding buruh/pegawai/karyawan laki-laki.
Diskriminasi upah
Kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki menurut
pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan indikasi adanya diskriminasi
terkait gender dalam pengupahan di Tanah Air. Hal ini menunjukkan bahwa, boleh
jadi, buruh/pegawai/karyawan perempuan menerima upah yang lebih rendah bukan
karena kualifikasi dan kompetensi mereka yang lebih rendah dari
buruh/pegawai/karyawan laki-laki, tapi karena posisi mereka sebagai perempuan.
Meski diskriminasi upah juga dapat terjadi di sektor formal,
mudah diduga sebagian besar diskriminasi terjadi di sektor informal. Salah satu
faktor yang mendorong terjadinya diskriminasi upah terhadap kaum perempuan
adalah aspek sosio-kultural masyarakat tradisional Indonesia yang terkadang
masih memandang kaum perempuan memiliki posisi yang "lebih rendah"
dibanding kaum laki-laki.
Hasil penelitian penulis dengan menggunakan data Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2016 menguatkan indikasi adanya
diskriminasi gender terkait pengupahan di Tanah Air. Dengan menggunakan model
ekonometrik, penulis mencoba menguraikan kesenjangan upah antara
buruh/pegawai/karyawan perempuan dan laki-laki di Indonesia ke dalam komponen
yang terjelaskan (explained) dan tak tak-terjelaskan (unexplained).
Komponen terjelaskan mengkuantifikasi kesenjangan upah yang
disebabkan oleh perbedaan karekteristik antara pekerja perempuan dan laki-laki,
seperti modal manusia (pendidikan dan pengalaman kerja), sosial-demografi, dan
karakteristik pekerjaan. Sementara komponen tak terjelaskan mengkuantifikasi kesenjangan
upah yang disebabkan oleh variabel yang tidak teramati salah satunya
diskriminasi gender.
Penulis menemukan bahwa kontribusi bagian tak terjelaskan
terhadap kesenjangan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki mencapai
sekitar 60 hingga 70 persen. Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa pekerja
perempuan di Tanah Air dihadapkan pada kondisi pengupahan yang tidak fair dan
gender bias.
Karena itu, mengingat partisipasi kaum perempuan di pasar
kerja yang sangat besar, hal ini sudah semestinya menjadi fokus perhatian
pemerintah di bidang ketenagakerjaan. BPS mencatat sekitar sepuruh dari total
jumlah angkatan kerja yang bekerja adalah perempuan. Jika kesenjangan upah
antara pekerja perempuan dan laki-laki dapat dikurangi hal ini tentu bakal
memberi kontribusi positif terhadap perekonomian nasional. (*)
Komentar
Posting Komentar