Kemakmuran ternyata bukan melulu soal
seberapa banyak materi atau kekayaan yang dikumpulkan suatu negara. Kekayaan
memang merupakan salah satu faktor penentu utama kemakmuran, tapi bukan
segalanya. Dimensi kemakmuran lebih luas dari sekadar akumulasi kekayaan
materi. Ia juga mencakup dimensi non-materi, seperti kegembiraan hidup dan
prospek untuk membangun hidup yang lebih baik di masa datang.
Kerena itu, pandangan bahwa kemakmuran merupakan
kata lain dari kesuksesan finansial atau kelimpahan materi adalah sebuah
kekeliruan. Makanya, sejalan dengan hal tersebut, pengukuran kemakmuran yang
hanya didasarkan pada indikator-indikator makro ekonomi seperti pendapatan
suatu negara yang acap kali diwakili oleh Produk Domestik Bruto (PDB) per
kapita juga kurang memadai dan bakal menghasilkan kesimpulan yang bias tentang
kemakmuran suatu negera.
Menyadari hal tersebut, Legatum
Institute, sebuah lembaga think-tank yang berkedudukan di
London, mencoba membangun sebuah indikator yang diupayakan mampu mengukur
sebaik mungkin kemakmuran suatu negara secara multidimensi. Indikator tersebut
tidak hanya didasarkan pada pendapatan, tapi juga sejumlah demensi kualitatif
yang merepresentasikan kesejahteraan (well-being).
Indikator yang dikembangkan oleh Legatum
Institute tersebut dikenal sebagai Legatum Prosperity Index yang
diluncurkan setiap tahun sejak 2009. Indeks tersebut merupakan indeks komposit
yang mencakup 89 variabel mulai dari variabel klasik seperti PDB per kapita dan
jumlah penduduk yang bekerja penuh waktu hingga jumlah server internat aman
yang dimiliki suatu negara dan kenyamanan warganya.
Variabel-variabel tersebut kemudian
dipilah ke dalam delapan sub-indeks yang mencakup ekonomi, kesempatan dan
kewirausahaan, tata kelola pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keselamatan dan
keamanan, kebebasan individu, dan modal sosial.
Belum lama ini, Legatum Institute telah
meluncurkan Legatum Prosperity Index 2015. Hasil perhitungan yang melibatkan
142 negara pada tahun ini menunjukkan bahwa posisi lima negara termakmur
sejagat berturut-turut ditempati oleh Norwegia, Swiss, Denmark, Selandia Baru,
dan Swedia.
Secara umum, negara-negara di kawasan
Eropa mendominasi kelompok 30 negara dengan indeks kemakmuran tertinggi. Meski
demikian, sejumlah negara di kawasan Asia mampu menempatkan diri dalam jajaran
30 negara termakmur tersebut, yakni Singapura yang berada pada peringkat 17,
Jepang (19), Hongkong (20), Taiwan (21), dan Uni Emirat Arab (30).
Lalu bagaimana dengan capaian Indonesia?
Hasil perhitungan memperlihatkan Indonesia berada pada peringkat 69 dan
termasuk dalam kelompok 40 negara di dunia dengan kategori kemakmuran
menengah-atas (upper-medium).
Meski tidak termasuk dalam kelompok
negara dengan tingkat kemakmuran tinggi di dunia, Indonesia merupakan salah
satu negara dengan capaian terbaik dalam menggenjot tingkat kemakmuran
warganya. Dalam laporannya, Legatum Institute menyebutkan bahwa Indonesia
berhasil meloncat 21 peringkat dalam tujuh tahun terakhir.
Capaian membanggakan tersebut antara
lain ditunjang oleh perkembangan kondisi perekonomian nasional yang mengesankan
dan keberhasilan dalam mendorong kewirausahaan dalam tujuh tahun terakhir.
Indonesia berhasil melompat 23 peringkat untuk sub-indeks ekonomi dan 14
peringkat untuk sub-indeks kesempatan dan kewirausahaan.
Sejumlah capaian Indonesia yang juga
disoroti Lagatum Institute adalah keberhasilan dalam menurunkan biaya memulai
usaha dari 26 persen menjadi 21,1 persen terhadap pendapatan nasional bruto per
kapita, peningkatan akses masyarakat terhadap jaringan internet yang tercermin
dari peningkatan jumlah server internet aman sebesar 5,3 persen, dan lonjakan
proporsi penduduk yang menyatakan puas terhadap standar hidupnya dari 63 persen
menjadi 71 persen.
Namun, bukan berarti sejumlah capaian
tersebut lantas membuat Indonesia cepat berpuas diri. Pasalnya, laporan Legatum
Institute juga memperilhatkan bahwa peringkat indeks kemakmuran Indonesia
relatif tetinggal dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga di kawasan
ASEAN. Selain tertinggal jauh dari Singapura, dalam soal kemakmuran, Indonesia
juga berada di belakang Malaysia yang menempati peringkat 44, Thailand (48),
dan Vietnam (55).
Karena itu, Indonesia harus terus
berupaya memacu peningkatan kemakmuran warganya dengan berfokus pada
variabel-variabel yang tercakup dalam perhitungan indeks kemakmuran.
Meski peringkat Indonesia untuk
sub-indeks ekonomi sudah cukup memuaskan dengan menempati peringkat 39,
pertumbuhan ekonomi harus terus digenjot dengan mendorong investasi. Dengan
cara ini lapangan kerja akan tercipta dan pendapatan masyarakat dapat
ditingkatkan.
Faktanya, hingga triwulan III 2015,
pertumbuhan ekonomi nasional hanya sebesar 4,73 persen terhadap triwulan yang
sama tahun lalu. Perlambatan ekonomi yang terus berlanjut tentu bakal menggerus
standar hidup masyarakat, yang antara lain tercermin dari peningkatan jumlah
penduduk miskin dan tingkat pengangguran.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 mencapai 28,59 juta
orang atau bertambah sebanyak 0,86 juta orang dibanding September 2014.
Sementara itu, angka pengangguran terbuka mencapai 7,56 juta orang pada Agustus
2015 atau mengalami peningkatan sebanyak 320 ribu orang dibanding Agustus 2014.
Capaian Indonesia juga cukup memuaskan
untuk sub-indeks modal sosial. Ini memberi konfirmasi bahwa kohesi sosial dan
hubungan kekeluargaan masih relatif kuat pada masyarakat Indonesia. Namun patut
dicamkan, kesenjangan ekonomi yang saat ini semakin melebar merupakan ancaman
serius yang dapat memperlemah kohesi sosial tersebut.
Diketahui, pada 2014, rasio
gini—indikator yang mengukur ketimpangan distribusi pendapatan—telah mencapai
0,41 atau telah memasuki skala medium. Karena itu, di samping memacu
pertumbuhan ekonomi, pada saat bersamaan pemerintah juga harus mewujudkan pemerataan.
Peningkatan juga harus diupayakan pada
sub-indeks lain yang capaiannya belum memuaskan. Legatum Institute melaporkan,
peringkat Indonesia untuk sub-indeks kerwirausahaan dan kesempatan adalah 90,
tata kelola pemerintahan 78, pendidikan 78, kesehatan 93, keselamatan dan
keamanan 70, dan kebebasan individu 123.
Angka-angka tersebut sejatinya
menunjukkan bahwa tingginya kasus korupsi yang melibatkan aparat pemerintah dan
birokrasi yang tidak efisien, rendahnya kualitas pendidikan, buruknya
infrastruktur kesehatan di banyak wilayah di tanah air, kesulitan dalam
berwirausaha, meningkatnya tingkat kriminalitas dan kasus kekerasan terhadap
kelompok minoritas yang terjadi belakangan ini merupakan sederet
tantangan yang harus segera dibereskan oleh Indonesia.
Karena itu, upaya-upaya yang dapat
dilakukan untuk menigkatkan kemakmuran masyarakat Indonesia selain meningkatkan
kinerja pembangunan ekonomi antara lain adalah pemberantasan korupsi melalui
penegakkan hukum yang tegas dan reformasi birokrasi, peningkatan akses dan mutu
pendidikan, penyediaan infrastruktur kesehatan yang memadai utamanya di daerah
terpencil, meningkatkan kemudahan berwirausaha, mewujudkan keamanan nasional
dan keselamatan individu, serta memperkuat toleransi sosial utamanya terhadap
kelompok minoritas.
Tanpa upaya-upaya tersebut, kemakmuran
bakal jauh dari jangkauan. (*)
Komentar
Posting Komentar