Presiden Joko Widodo mengaku malu ketika
pertama kali bertemu Presiden Vietnam Truong Tang Sang pada acara KTT APEC di
Beijing, Cina, November tahun lalu. Musababnya, presiden salah satu negara
eksportir beras itu melayangkan pertanyaan kepada Jokowi: kapan Indonesia mau
membeli beras lagi dari Vietnam?
Kejadian remeh itu rupanya berbuntut
pemanggilan Menteri Pertanian Amram Sulaiman saat presiden kembali ke tanah
air. Instruksi presiden kepada menteri Amran tak main-main, swasembada beras
harus berhasil direngkuh dalam waktu singkat. Bahkan, bila pada 2017 swasembada
beras gagal diwujudkan, ia bakal dicopot (Tempo.co, 26 Desember
2014).
Upaya yang dikerahkan untuk mewujudkan
swasembada pun luar biasa. Triliunan anggaran negara digelontorkan untuk
bantuan pupuk, benih, dan traktor kepada petani. Tak hanya itu, 50 ribu Babinsa
juga dikerahkan sebagai penyuluh pertanian.
Tentu saja, tak ada yang salah
dengan itu semua. Memang, sungguh keterlaluan bila negeri yang luas lahan
sawahnya mencapai 8 juta hektare ini terus menerus menjadi importir beras.
Tapi yang patut dicamkan, jangan
sampai ambisi mengejar swasembada itu justru membuat pemerintah abai
terhadap salah satu fokus utama pembangunan di bidang pertanian: peningkatan
kesejahteraan petani dan buruh tani.
Faktanya, hingga kini sebagian besar
petani dan buruh tani masih bergumul dengan kemiskinan. Badan Pusat
Statistik melaporkan, sekitar 63 persen dari total jumlah penduduk miskin, yang
mencapai 27,73 juta orang pada September 2014, tinggal di desa. Mudah diduga,
mayoritas mereka adalah petani dan buruh tani.
Ditengarai, salah penyebab kemiskinan
masih menjadi fenomena sektor pertanian-pedesaan adalah orientasi pembangunan
pertanian selama ini yang terlalu berfokus pada peningkatan produksi, ketimbang
menggenjot kesejahteraan petani. Selama ini, petani hanya dijadikan obyek
(baca: alat) untuk merengkuh target produksi yang dipatok pemerintah.
Pemerintah seolah menutup mata bahwa
mayoritas petani negeri ini mengelola lahan garapan yang sempit. Hasil Sensus
Pertanian 2013 menunjukkan, 14,25 juta rumah tangga tani pengguna lahan
merupakan petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare. Itu
artinya, bila setiap rumah tangga terdiri dari empat orang, ada sekitar 57 juta
penduduk Indonesia yang hidup dari kegiatan bertani pada lahan yang sempit.
Kondisi tersebut menjadikan mereka acap
kali tak memperoleh manfaat berarti dari berbagai program peningkatan produksi
yang digulirkan pemerintah. Manfaat tersebut justru lebih banyak dinikmati para
petani berlahan luas, yang jumlahnya tak seberapa dibanding total jumlah
petani. Alih-alih kesejahteraannya meningkat, petani gurem justru seringkali
terjerat utang karena tak mampu membeli input produksi.
Karena itu, agar tak mengulang kesalahan
yang sama, implementasi reforma agraria merupakan sebuah keniscayaan. Dalam
soal ini, pemerintah harus merealisasikan janjinya berupa peningkatan
redistribusi lahan seluas 1,1 juta hektare untuk 1 juta kepala keluarga petani
kecil dan buruh tani setiap tahun, serta meningkatkan akses petani gurem
terhadap kepemilikan lahan pertanian. Bila tidak, mayoritas petani dan buruh
tani bakal tetap miskin, meski pada saat yang sama target swasembada pangan
berhasil direngkuh. (*)
Kadir, penulis bekerja di Badan Pusat
Statistik
Komentar
Posting Komentar