Salah satu persoalan pembangunan yang diwarisakan SBY kepada presiden baru, Joko Widodo (Jokowi), adalah ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin melebar. Ekonomi Indonesia memang tumbuh mengesankan—pada kisaran 5-6 persen—selama dasa warsa terakhir . Namun, pertumbuhan tersebut ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hal ini tercermin dari perkembangan gini rasio, indikator
yang mengukur ketimpangan distribusi pendapatan, yang menunjukkan tren
peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan, pada 2004 gini rasio baru mecapai 0,32, yang manunjukkan bahwa
ketimpangan distribusi pendapatan masih tergolong rendah. Namun, pada 2013,
gini rasio telah menyentuh angka 0,41. Artinya, ketimpangan sudah memasuki
skala medium dan tentu saja mengkhawatirkan.
Angka gini rasio sebesar 0,41 menunjukkan bahwa sekitar 49
persen pendapatan nasional terkonsentrasi pada 20 persen penduduk dengan
pendapatan tertinggi (terkaya). Sementara itu,hanya sekitar 17 persen
dari pendapatan nasional yang dinikmati oleh 40 persen penduduk dengan
pendapatan terendah.
Gambaran ketimpangan distribusi pendapatan juga
terkonfirmasi dari laporan mengenai distribusi kekayaan penduduk Indonesia yang
dirilis oleh Credit Suisse belum lama ini. Laporan tersebut menyebutkan bahwa
sekitar 88 persen penduduk Indonesia memiliki kekayaan kurang dari 10.000 dolar
AS. Sementara itu, sekitar 77,2 persen dari total kekayaan nasional pada 2014
ternyata hanya dikuasai oleh 10 persen penduduk terkaya (The Jakarta Post, 17
Oktober).
Ditengarai, salah satu penyebab ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak
tepat sasaran. Faktanya, sekitar 60-70 persen subsidi BBM—yang bersifat subsidi
barang—justru dinikmati oleh penduduk kelas menangah dan kaya (golongan mampu).
Padahal, anggaran untuk subsidi BBM mencakup sekitar 21 persen dari total
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Karena itu, keputusan Jokowi untuk menaikkan harga BBM yang
direncanakan bakal dilaksanakan pada awal bulan November tahun ini adalah
langkah yang tepat. Dalam jangka pendek, keputusan ini memang bakal berdampak
buruk terhadap kondisi ekonomi penduduk miskin akibat lonjakan harga-harga
kebutuhan pokok (inflasi). Namun dalam jangka panjang, keputusan ini akan
mendorong penurunan jumlah penduduk miskin dan perbaikan distribusi pendapatan.
Dengan cacatan, sebagian besar dana subsidi BBM tersebut dialihkan ke
sektor produktif dan program-program pembangunan yang mendukung perbaikan
kesejahteraan dan peningkatan pendapatan penduduk miskin.
Seperti diketahui, dalam berbagai kesempatan, Jokowi kerap
menyatakan bahwa pemerintahannya akan mengalihkan subsisidi BBM ke sektor yang
lebih produkif seperti sektor pertanian. Jika direalisasi, hal ini dipastikan
dapat memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan. Pasalnya, sebagian besar
penduduk miskin dan berpendapatan rendah terkonsentrasi di sektor pertanian.
Data hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan BPS
pada 2011 menunjukkan bahwa 9,79 juta rumah tangga atau 60,97 persen dari total
rumah tangga dengan status kesejahteraan 30 persen terendah menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian—yang mencakup subsektor tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Statistik ini
menegaskan bahwa perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian merupakan kunci
keberhasilan pengentasan rakyat dari kemiskinan dan pemerataan distribusi
pendapatan di Indonesia. (*)
Komentar
Posting Komentar