Hasil lengkap Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) yang dirilis
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (1 Juli) menunjukkan: jumlah
petani tanaman pangan berkurang cukup signifikan selama dasawarsa terakhir. BPS
mencatat, jumlah rumah tangga usaha tani padi, jagung, dan kedelai pada 2013
mengalami penurunan masing-masing sebanyak 58,4 ribu rumah tangga (0,41
persen), 1,3 juta rumah tangga (20,4 persen), dan 314,8 ribu rumah tangga (31,9
persen) dibandingkan dengan kondisi pada 2003. Penurunan jumlah rumah tangga
usaha padi dan jagung yang sangat besar terjadi di wilayah Sumatera dan
Kalimantan. Sementara itu, penurunan jumlah rumah tangga usaha kedelai yang
sangat signifikan terjadi di Jawa.
Setidaknya ada dua hal yang dapat menjelaskan fenomena
penurunan tersebut. Pertama, petani tanaman pangan telah beralih ke subsektor
lain yang lebih atraktif dan ekonomis, misalnya, subsektor perkebunan. Hal ini
tercermin dari lonjakan jumlah rumah tangga usaha tani perkebunan dalam 10
tahun terakhir. Hasil ST 2013 mencatat, lonjakan petani kelapa sawit, karet,
dan kakao masing-masing sebanyak 779,9 ribu rumah tangga (115 persen), 1,2 juta
rumah tangga (71,7 persen), dan 286,3 ribu rumah tangga (15,1 persen) sepanjang
2003-2013.
Karena lonjakan jumlah petani perkebunan yang sangat besar
secara umum terjadi di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, hal ini
merupakan petunjuk bahwa banyak petani tanaman pangan telah beralih ke
subsektor perkebunan. Penyebabnya, usaha tani tanaman perkebunan lebih
menjanjikan kesejahteraan dibanding usaha tanaman pangan. Data BPS menunjukkan,
nilai tukar petani (NTP) tanaman perkebunan jauh di atas NTP petani tanaman
pangan. Hal ini memberi konfirmasi bahwa surplus usaha tani yang diperoleh
petani tanaman perkebunan jauh lebih besar dibandingkan dengan surplus usaha
tani yang diperoleh petani tanaman pangan.
Penting untuk diperhatikan, mutasi petani tanaman pangan,
khususnya petani padi, ke subsektor perkebunan juga bakal diikuti dengan alih
fungsi lahan sawah ke lahan pertanian bukan sawah. Dengan kata lain, luas lahan
sawah bakal berkurang. Hal ini dengan mudah bisa dijumpai di daerah-daerah
sentra perkebunan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Hasil Survei Pendapatan
Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) memperlihatkan, konversi lahan
sawah menjadi lahan pertanian bukan sawah rata-rata sekitar 0,2 hektare per
rumah tangga pertanian dalam lima tahun terakhir.
Kedua, petani tanaman pangan banyak yang pensiun sebagai petani.
Hal ini terkonfirmasi dari hasil ST 2013 yang memperlihatkan bahwa jumlah rumah
tangga pertanian telah berkurang sekitar 5 juta rumah tangga dalam 10 tahun
terakhir.
Ditengarai, mutasi petani tanaman pangan ke sektor
non-pertanian disebabkan sulitnya merengkuh kesejahteraan bila hanya
mengandalkan usaha tani. Hasil SPP 2013 memperlihatkan, rata-rata pendapatan
rumah tangga tani tanaman pangan dari usaha pertanian hanya sekitar Rp11 juta
per tahun atau kurang dari Rp1 juta per bulan. Itu artinya, petani bakal sulit
merengkuh kesejahteraan bila hanya mengandalkan usaha tani. Betapa tidak, garis
kemiskinan di daerah pedesaan pada Maret 2014 sebesar Rp286.097 per kapita per
bulan. Artinya, rumah tangga yang terdiri dari empat anggota bakal berkategori miskin
bila dalam sebulan memiliki pengeluaran/pendapatan lebih kecil dari Rp1,2 juta.
Ditengarai, rendahnya rata-rata pendapatan petani tanaman
pangan bertalian erat dengan fakta bahwa sebagian besar petani tanaman pangan
mengusahakan lahan yang sempit. Faktanya, lebih dari separuh petani tanaman
pangan mengelola lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare (petani gurem).
Alhasil, skala usaha dan efisiensi usaha tani menjadi sulit digapai.
Tidak membikin heran bila banyak petani tanaman pangan yang
lebih memilih untuk menjual lahan sawahnya, kemudian menggunakan hasilnya
sebagai modal untuk merantau ke kota dan menggeluti sektor informal-perkotaan.
Celakanya, lahan sawah yang dijual tersebut tidak sedikit yang akhirnya beralih
fungsi menjadi lahan bukan pertanian. Jadi, keberlangsungan lahan sawah di
negeri ini sejatinya dihadapkan pada dua tantangan sekaligus, yakni konversi
lahan sawah ke lahan perkebunan dan konversi lahan sawah ke penggunaan
non-pertanian.
Karena itu, pemerintah mendatang mesti menggenjot kepasitas
petani dalam berproduksi dengan cara meningkatkan rata-rata luas lahan
pertanian yang dikuasai setiap petani.Pemerintah juga harus memberi insentif
kepada petani tanaman pangan berupa subsidi input (pupuk, benih, dan sarana
produksi) serta jaminan harga yang menguntungkan bagi hasil produksi petani.
Aktivitas ekonomi di luar usaha tani (off-farm) di daerah pedesaan juga harus
didorong. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan diversifikasi sumber
pendapatan bagi petani tanaman pangan, sehingga mereka tidak hanya bertumpu
pada kegiatan usaha tani (on-farm). (*)
Komentar
Posting Komentar