Angka ramalan produksi tanaman pangan yang dirilis Badan
Pusat Statistik (BPS) pada Senin lalu (3/11) menyebutkan bahwa produksi padi,
jagung, dan kedelai nasional pada tahun ini diperkirakan masing-masing sebesar
70,61 juta ton gabah kering giling (GKG) 19,13 juta ton pipilan kering, dan
921,34 ribu ton biji kering.
Itu artinya, bila dibandingkan dengan kondisi pada 2013,
produksi padi diprediksi mengalami penurunan sebesar 0,67 juta ton (0,94
persen). Sementara itu, produksi jagung dan kedelai diperkirakan mengalami
kenaikan masing-masing sebesar 0,62 juta ton (3,33 persen) dan 141,34 ribu ton
(18,12 persen).
Sejatinya, gambaran kinerja produksi yang dirilis BPS
tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan pangan untuk komoditas padi/beras,
jagung, dan kedelai—yang merupakan pengejawantahan dari visi kemandirian
ekonomi dalam Nawa Cita—masih sebatas mimpi yang harus diwujudkan oleh
pemerintah Jokowi-JK.
Faktanya, penurunan produksi padi pada 2014 sejalan dengan
seretnya realisasi pengadaan beras oleh Bulog. Diketahui, hingga akhir Oktober
tahun ini, realisasi pengadaan beras baru mencapai 2,34 juta ton. Cukup jauh
bila dibandingkan dengan kinerja pengadaan beras pada 2013 yang hingga Oktober
sudah di atas 3 juta ton.
Konsekuensinya, bila Bulog hendak mempertahankan stok beras
nasional agar tetap berada pada level aman hingga penghujung tahun, impor beras
tak bisa dihindari. Diketahui, realisasi impor beras yang dilakukan Bulog pada
tahun ini telah mencapai 50 ribu ton dari kuota impor sebesar 500 ribu ton.
Sementara itu, meski mengalami kenaikan, produksi jagung dan
kedelai masih belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Impor jagung tahun ini
diperkirakan bakal berada pada kisaran 3,6 – 4 juta ton, dan defisit kebutuhan
kedelai nasional yang harus ditutupi dari impor diperkirakan bakal mencapai 2
juta ton.
Untuk menyetop impor beras, jagung, dan kedelai, solusi
peningkatan produktivitas (hasil per hektar) yang ditawarkan pasangan Jokowi-JK
saat kampanye pemilihan presiden sudah tepat. Tapi patut diperhatikan, impor
pangan bukan melulu soal menggenjot produksi, tapi juga soal komitmen semua
pihak.
Faktanya, impor jagung—yang sebagian besar digunakan untuk
bahan baku pakan ternak—sebesar 3,2 juta ton pada 2013 dilakukan pada saat
produksi jagung nasional mencapai 18,51 juta ton, yang sebetulnya lebih dari
cukup untuk mencukupi kebutuhan nasional yang hanya sekitar 16 juta ton.
Soal angka produksi yang “ketinggian” mungkin ada betulnya.
Tapi keengganan pengusaha pakan ternak untuk menyerap jagung produksi petani
dengan alasan rendemen atau kadar air yang tidak sesuai standar adalah fakta
yang terjadi di lapangan.
Selama ini, kita terlanjur dilenakan dengan solusi cepat dan
murah lewat impor. Selan itu, importasi sejumlah komoditas pangan strategis
telah lama menjadi ladang perburuan rente bagi mereka yang hendak mengeruk
keuntungan. Karena itu, mewujudkan kedaulatan pangan sejatinya ibarat menelan
pil pahit. Tentu tak mengenakkan bagi mereka yang telah terbiasa meneguk
manisnya politik pangan murah dan perburun rente. (*)
Komentar
Posting Komentar