Setiap orang tentu mendambakan kebahagiaan. Di Negeri Abang
Sam, mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness) bahkan dianggap sebagai
hak asasi yang melekat pada diri setiap orang, seperti halnya hak untuk hidup (life)
dan memperoleh kebebasan (liberty). Dalam konteks Indonesia, tentu menarik bila
kita menyoal: apakah 249 juta penduduk negeri ini sudah hidup bahagia?
Definisi kebahagiaan sangatlah
kualitatif, karena menyangkut perasaan atau kondisi emosional yang
dirasakan oleh seseorang pada saat tertentu. Kondisi ini sangat dipengaruhi
oleh kualitas hidup yang tengah dirasakan. Karena itu, pengukuran
kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mudah.
Meskipun tak mudah, berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengukur kebahagian. Upaya ini didasari oleh kesadaran bahwa kebahagiaan
merupakan variabel sosial yang perlu dievaluasi progresnya.
Bhutan adalah negara pertama yang melakukan pengukuran
kebahagian secara kuantitatif pada 2010. Negara ini kemudian merilis sebuah
ukuran kebahagian yang disebut indeks kebahagian nasional bruto (Gross National
Happiness Index).
Pada 2012, laporan bertajuk World Happiness Report dirilis
untuk pertama kalinya oleh PBB. Laporan tersebut menyebutkan, Indonesia
berada pada peringkat 83 dalam soal kebahagiaan dari 156 negara yang disurvei.
Dalam World Happines Report 2013, ranking
kebahagiaan penduduk Indonesia naik cukup signifikan dengan
menempati peringkat 76 dari 156 negara.
Di Indonesia, pengukuran kebahagiaan mulai dilakukan pada
2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebahagiaan diukur melalui tiga dimensi,
yakni dimensi personal (pendapatan, tingkat pekerjaan, kondisi rumah, dan aset
yang dimiliki), dimensi sosial (hubungan dengan individu lain yang terdekat
termasuk anggota keluarga), dan dimensi lingkungan (keamanan dan hubungan
dengan tetangga). Hasilnya baru saja dirilis pada Selasa lalu (15 April).
Namum patut diperhatikan, hal ini hanyalah gambaran umum
yang sifatnya agregasi atau rata-rata. Skor 65,11 sebetulnya juga menunjukkan,
proporsi orang Indonesia yang tidak bahagia masih cukup besar. Pasalnya, angka
ini tak terlalu jauh dari abang batas skor ketidakbahagiaan yang sebesar 50.
Hasil survei juga memperlihatkan, pendapatan sangat
berpangaruh terhadap tingkat kebahagiaan.
Memang, kebahagiaan tidak melulu
ditentukan oleh kondisi materi: miskin atau kaya. Tapi faktanya, di Indonesia,
semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat
kebahagiaannya.
Nampaknya, kasus Indonesia memberi konfirmasi kebenaran
pernyataan Jane Austen, novelis kondang asal Inggris: " A large
income is the best recipe for happiness I ever heard of." Dan, jika
faktanya demikian, kunci untuk menggenjot indeks kebahagiaan adalah memacu
pertumbuhan ekonomi, karena hanya dengan cara ini pendapatan per kapita dapat
ditingkatkan.
Tentunya, pertumbuhan yang diinginkan adalah
pertumbuhan inklusif, yang dibarengi dengan pemerataan (growth with equity).
Nyaris sepuluh tahun terakhir, kita selalu disuguhi angka-angka pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, 5-6 persen. Namun pada saat yang sama, ketimpangan
pendapatan kian melebar dan realitas kemiskinan seolah tak banyak berubah.
Data statistik menunjukkan, pada 2013, gini rasio sudah
mencapai 0,41. Artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium, dan
pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara
itu, sekitar 28,6 juta penduduk negeri ini masih bergelut dengan
kemiskinan. Sulit rasanya, mereka dapat merasakan kebahagiaan, bila untuk
memenuhi kebutuhan hidup sebesar Rp300 ribu dalam sebelum
saja mereka sudah kewalahan. (*)
Komentar
Posting Komentar