Laporan berjudul “The Global Competitiveness Report
2014-2015” yang dirilis Forum Ekonomi Dunia pada Rabu lalu (3/9)
menyebutkan bahwa peringkat daya saing Indonesia, yang diukur melalui indeks
daya saing global, berada pada urutan ke-34 dari 144 negara. Hal ini
menunjukkan peningkatan sebesar empat peringkat bila dibandingkan dengan
peringkat Indonesia sebelumnya.
Meski mengalami peningkatan daya saing, capaian Indonesia
sebetulnya belum sesuai harapan. Bila dibandingkan dengan negera-negara lain di
kawasan ASEAN, peringkat Indonesia masih tertinggal dari Singapura (2),
Malaysia (20), dan Thailand (31). Hal ini tentu sedikit merisaukan karena tahun
depan Masyarakat Ekonomi ASEAN bakal diberlakukan, dan ini menuntut kesiapan
Indonesia untuk berkompetisi dengan negara-negara ASEAN lainnya. Pertanyaannya:
mampukah kita bersaing secara head-to-head atau hanya bakal menjadi
penonton?
Karena itu, memacu daya saing di kancah global harus menjadi
fokus perhatian pemerintahan mendatang. Dan, hal ini bakal sulit dilaksanakan
bila anggaran negara terus tersandera subsidi BBM yang terus membengkak. Pendek
kata, harga BBM harus dinaikkan.
Terlepas dari bumbu politik dan isu mafia migas yang
melingkupinya, hal ini harus dilakukan. Faktanya, kini konsumsi BBM terus
meningkat sebagai dampak dari meningkatnya daya beli penduduk dan jumlah
penduduk kelas menengah yang terus bertumbuh. Sementara pada saat yang sama
produksi minyak nasional terus menurun dan tidak mampu mengimbangi peningkatan
permintaan. Jadi, antara suplai dan permintaan tidak seimbang. Sehingga mau
tidak mau kebutuhan BBM nasional harus dicukupi dari impor.
Repotnya, selama ini BBM tidak dijual ke publik berdasarkan
harga pasar atau disubsidi, padahal sebagian besar minyaknya diimpor. Karena
itu, fluktuasi atau kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional selalu
memberi tekanan kepada anggaran negara (APBN) dalam beberapa tahun terakhir
karena membengkaknya subsidi dan defisit anggaran.
Bila dicermati, titik lemah Indonesia dalam hal daya saing,
antara lain, adalah infrastruktur dan konektivitas serta masih rendahnya
tingkat kapabilitas (utamanya pendidikan) penduduk. Diketahui, porsi anggaran
yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur hanya sekitar 8 persen atau 3
persen dari Produk Domestik Bruto. Sementara itu, sekitar 64 persen angkatan
kerja yang aktif di pasar tenaga kerja saat ini hanya menamatkan pendidikan
maksimal setingkat sekolah menengah pertama (SMP).
Pembangunan infrastruktur dan peningkatan kapabilitas
penduduk membutuhkan dukungan anggaran yang memadai. Karena itu, langkah
menaikkan harga BBM bersubsidi kemudian mengalihkannya ke sektor yang lebih
produktif—seperti pendidikan, kesehatan, dan infratsruktur—harus dilakukan oleh
pemerintah mendatang. Jika hal ini tidak dilakukan, daya saing Indonesia bakal
sulit dipacu, bahkan tidak menutup kemungkinan Indonesia ke depan hanya bakal
menjadi penggembira di tengah semakin kompetitifnya persaingan global.
Sebagai gambaran, pemerintahan mendatang punya peluang untuk
menaikkan harga BBM sebesar 10 persen atau Rp2.000-3.000 per liter. Jika langkah
menaikkan harga BBM diambil, bakal ada penghematan sekitar Rp100 triliun pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 (APBN 2015). Jika separuhnya
dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tentu
bakal berdampak signifikan terhadap peningkatan daya saing Indonesia. (*)
Komentar
Posting Komentar