Pembangunan manusia Indonesia masih harus ditingkatkan. Hal
ini tercermin dari laporan bertajuk “Sustaining Human Progress: Reducing
Vulnerability and Building Resilience” yang diluncurkan Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada Kamis lalu (24/7).
UNDP menyebutkan, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM)
pada 2013 sebesar 0,684. Angka ini menunjukkan kenaikan sebesar 0,44 persen
bila dibandingkan dengan skor IPM pada 2012 yang sebesar 0,681. Meski
mengalami kenaikan, peringkat IPM Indonesia tetap bertengger di urutan 108 dari
287 negara. Indonesia juga belum beranjak dari kelompok medium dalam soal
pembangunan manusia. Di regional ASEAN, Indonesia berada pada kelompok yang
sama dengan Filipina, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Laos.
Progres Indonesia dalam soal pembangunan manusia boleh
dibilang sedikit lambat. Sepanjang periode 2000-2013, pertumbuhan skor IPM
Indonesia rata-rata sebesar 0,9 persen per tahun. Progres yang lambat juga
tercermin dari perubahan peringkat IPM Indonesia sepanjang periode 2008-2013
yang hanya naik empat peringkat.
Karena itu, menggenjot peningkatan kualitas pembangunan
manusia adalah salah satu tantangan pasangan Jokowi-JK, yang hampir dipastikan
bakal mengemban amanah memimpin negeri dalam lima tahun mendatang.
Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan pemerintah mendatang untuk menggenjot
kualitas pembangunan manusia?
Pemerataan
Indeks pembangunan manusia adalah indikator yang mengukur
kualitas pembangunan manusia melalui tiga dimensi, yakni hidup sehat dan umur
panjang, akses terhadap ilmu pengetahuan, dan standar hidup layak. Dimensi
hidup sehat dan umur panjang diwakili oleh angka harapan hidup, akses terhadap
ilmu pengetahuan diwakili oleh angka rata-rata lama sekolah dan angka harapan
lama sekolah, dan standar hidup layak diwakili oleh pendapatan.
Pada 2013, berdasarkan data UNDP, angka harapan hidup
penduduk Indonesia mencapai 70,8 tahun. Artinya, pada 2013, setiap penduduk
Indonesia berpeluang untuk hidup selama 70,8 tahun pada saat lahir.
Rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia dilaporkan sebesar 7.5 tahun.
Angka ini menunjukkan, penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas
sebagain besar hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar (6 tahun) atau kurang.
Adapun angka harapan lama sekolah penduduk
Indonesia sebesar 12,7 tahun (tamat
sekolah menengah atas). Sementara itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia
berdasarkan harga-harga tahun 2011 (paritas daya beli) mencapai US$ 8.970.
Dengan mencermati komponen-komponen penyusun IPM tersebut,
dapat disimpulkan bahwa titik lemah pembangunan manusia Indonesia yang harus
menjadi fokus perhatian pemerintah mendatang adalah peningkatan akses terhadap
pendidikan dan kesehatan.
Dalam soal peningkatan akses terhadap pendidikan dan
kesehatan, aspek pemerataan adalah persoalan yang sangat penting. Secara
faktual, terjadi ketimpangan antar penduduk dalam mengakses pendidikan dan
kesehatan. Ketimpangan terjadi dalam spektrum yang luas antar kelompok
pendapatan, gender, dan daerah.
Antar kelompok pendapatan ketimpangan akses tercermin dari
Gini Rasio—indikator ketimpangan sebaran pendapatan—yang telah mencapai 0,41
pada 2013. Angka ini menunjukkan bahwa hasil-hasil pembangunan tidak dinikmati
secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara itu, ketimpangan antar
kelompok gender tercermin dari Indeks Pembangunan Gender yang sebesar 0,923.
Angka ini menunjukkan kualitas pembangunan manusia untuk kelompok perempuan
sedikit tertinggal dibanding kelompok laki-laki. Penduduk Indonesia yang
tinggal di luar Jawa secara umum juga tertinggal dalam hal pendidikan,
kesehatan, dan pendapatan dibanding dengan penduduk di Jawa.
Seperti diketahui, pasangan Jokowi-JK telah menyodorkan
kontrak politik yang harus direalisasikan selama lima tahun mendatang. Dari
sembilan janji yang disampaikan beberapa di antaranya sangat potensial untuk
menggenjot progres pembangunan manusia Indonesia, misalnya, janji Kartu
Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan subsidi sebesar Rp1 juta rupiah
bagi setiap keluarga pra-sejahtera jika pertumbuhan ekonomi di atas 7
persen. Persoalannya, mampukah janji-janji tersebut diwujudkan, atau
sekedar janji tanpa bukti? Mari kita tunggu dan kawal realisasinya.
Komentar
Posting Komentar