Kisruh beras impor kualitas premium asal Vietnam belum
jelas ujungnya.Seperti diketahui, ihwal kisruh tersebut, pemerintah memutuskan
untuk menghentikan sementara (moratorium) importasi beras khusus atau kualitas
premium selama enam bulan mendatang sembari membenahi kembali tata niaga impor
beras.
Meski sah saja,beras impor selalu menuai tanggapan negatif
dari publik. Tak peduli beras impor tersebut kualitas premium atau medium. Bagi
Indonesia yang luas sawahnya mencapai 8 juta hektar, impor beras sungguh
keterlaluan. Bukti bahwa bangsa ini lemah dalam soal kemandirian pangan.
Galibnya, dalam soal importasi beras kualitas premium, yang
dilakukan pemerintah bukan sekedar moratorium, tapi penghentian secara
permanen. Pasalnya, selain membuka peluang masuknya beras illegal, produk
substitusi untuk beras kualitas premium yang diimpor selama ini sebetulnya
bisa dihasilkan di dalam negeri. Beras jenis Rojolele dan Cianjur, misalnya,
memiliki kualitas yang setara dengan beras impor kualitas khsusus, seperti
Japonica, Basmati, dan Thai Hom Mali.
Selain itu, selama ini importasi beras kualitas
premium sebetulnya hanya ditujukan untuk memenuhi selera pasar atau
kebutuhan konsumen segmen tertentu dengan jumlah yang terbatas. Karena
iut, bila pemerintah memiliki keberpihakan terhadap petani dan kepentingan
produksi dalam negeri, produksi beras lokal kualitas premium mestinya digenjot.
Akurasi data
Bagaimana dengan beras kualitas medium? Diketahui, menurut
undang-undang, importasi beras jenis ini hanya boleh dilakukan oleh Bulog
untuk stabilisasi harga beras di dalam negeri.
Selama ini, indikator utama yang dijadikan pijakan perlu
atau tidaknya importasi beras oleh Bulog adalah harga pasar beras termurah.
Bila harga beras termurah 25 persen lebih mahal dari harga pembelian
pemerintah (HPP), Bulog akan melakukan impor beras.
Indikator yang juga dijadikan pijakan adalah stok beras yang
dimiliki oleh Bulog. Bila stok di bawah level aman (kurang dari 2 juta ton),
impor beras harus dilakukan.
Pertanyaannya, mengapa bukan data produksi beras di dalam
negeri yang dijadikan acuan utama untuk memutuskan perlu atau tidaknya impor
beras?
Selama ini, data produksi beras hanya menjadi bahan
pertimbangan. Tidak lebih dari itu. Berdasarkan data produksi yang ada,
Kementerian Pertanian (Kementan) hanya bisa memberi rekomendasi perlu atau
tidaknya dilakukan impor. Keputusan tetap di tangan Bulog berdasarkan kondisi
stok dan harga beras di pasar.
Data produksi beras tidak bisa dijadikan indikator utama
perlu atautidaknya impor karena selama ini kerap terjadi disasoiasi antara data
dengan kondisi stok dan harga beras di pasar.
Surplus acapkali hanya sekedar angka-angka di atas kertas
(semu). Data menunjukkan produksi beras melimpah. Tapi pada saat yang sama,
Bulog mengalami kesulitan dalam pengadaan beras dan harga beras di
pasar merangkak naik, yang merupakan indikasi kekurangansuplai.
Pada tahun 2011, misalnya, data menunjukkan produksi
beras cukup melimpah. Namun, pada saat yang sama, Bulog mengalami kesulitan
dalam pengadaan beras, dan harga beras di pasar merangkak naik karena
kekurangan suplai. Impor beras sepanjang 2011 bahkan
nyaris 3 juta ton. Padahal, surplus ditaksir mencapai 4 juta ton.
Meski disasosiasi ini bisa jadi disebabkan oleh market
power atau praktek kartel yang dilakukan oleh pedagang perantara seperti
yang lazim terjadi pada komoditas pangan strategis lainnya, hal ini sebetulnya
merupakan petunjuk bahwa data produksi beras tidak akurat.
Secara faktual, akurasi data produksi beras memang lemah.
Persoalan ini telah banyak disorot oleh sejumlah kalangan. Kritik dan desakan
agar akurasi data diperbaiki juga telah sering disuarakan. Namun hingga
kini belum ada kemajuan yang berarti.
Produksi beras nasional dihitung dari produksi padi nasional
yang dikalikan dengan laju konversi sebesar 0,57 sehingga diperoleh beras yang
siap dikonsumsi untuk pangan.
Selama ini, produksi padi nasional dihitung oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) dengan menggunakan metode yang nyaris tidak pernah berubah
sejak tahun 1973.
Produksi padi dihitung dengan mengalikan data luas panen
dengan data produksi per hektar (produktivitas).
Data luas panen dikumpulkan oleh mantri tani (petugas
dinas pertanian di tingkat kecamatan) secara rutin setiap bulan dengan
pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk, informasi dari aparat desa, dan
penaksiran dengan pandangan mata (eye estimate). Hasil penaksiran luas panen
kemudian disetor ke BPS.
Di lapangan, metode yang banyak digunakan adalah pendekatan
terakhir. Dalam prakteknya, petugas hanya datang ke sawah yang tanaman padinya
siap dipanen kemudian memperkirakan luasnya. Masih mending petugas datang
ke sawah, bagaimana kalau perkiraan luas panen dilakukan di atas meja?
Dalam teori statistik, data luas panen yang dikumpulkan oleh
petugas dinas pertanian disebut catatan administrasi sehingga tidak bisa
dihitung dan dievaluasi tingkat akurasinya. Idealnya, pengumpulan
data luas panen dilakukan dengan menggunakan survei statistik(objective
measurement).
Sementara itu, pengumpulan data produktivitas dilakukan
melalui survei statistik yang disebut Survei Ubinan. Produktivitas ditaksir
dengan mengobservasi produksi tanaman padi pada 73.109 plot berukuran
2,5x2,5 m2. Pengumpulan data produktivitas sebagian dilakukan oleh petugas
dinas pertanian dan sebagian lagi dilakukan oleh petugas BPS.
Jadi, angka produksi padi/beras yang selama ini disebut
sebagai “angka BPS” sejatinya merupakan hasil kompromi antara dua sistem
pengumpulan data yang berbeda, dan bukan sepenuhnya angka BPS.
Upaya perbaikan
Kelemahan utama dalam perhitunga produksi padi/beras
nasional pengumpulan data luas panen yang tidak menggunakan survei statistik.
Hasil kajian yang dilakukan oleh BPS pada tahun 1996 hingga 1997 menemukan
bahwa data luas panen yang dikumpulkan oleh mantra tani di Pulau Jawa
mengalami overestimate atau lebih tinggi dari angka yang sebenarnya.
Besarnya overestimate ditaksir mencapai 17 persen. Akibatnya, data
produksi padi/beras juga overestimate.
Karena hingga kini belum ada perubahan dalam metode
pengumpulan data luas panen, saat ini overestimate pada data produksi
dipastikan lebih besar lagi akibat akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebagian kalangan bahkan memperkirakan besarnya overestimatesudah di atas
20 persen.
Overestimate pada data luas panen sebetulnya sangat
mudah dibuktikan dengan mengamati tren data luas panen yang dilaporkan terus
meningkat dari tahun ke tahun, sementara pada saat yang sama kita tahu luas
lahan sawah terus menyusut akibat derasnya laju konversi lahan sawah ke lahan
non-pertanian yang terjadi secara masif di wilayah-wilayah yang merupakan
sentra produksi padi nasional.
Data menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir luas lahan sawah
telah berkurang 2 juta hektar. Namun luas panen justru terus meningkat dari
10,99 juta hektar pada tahun 1993 menjadi 13,77 juta hektar pada tahun 2013.
Perbaikan metode pengumpulan data luas panen sebetulnya
sedang dilakukan. Metode baru yang didasarkan pada survei statistik
sedang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
bekerjasama dengan BPS. Metode ini memadukan teknik statistik (probability
sampling) dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), dan bakal
diimplementasikan pada tahun 2016.
Begitupula dengan data produktivitas, akurasinya juga terus
ditingkatkan dengan menambah sampel. Namun demikian,
meski sampel terus ditambah, jumlah sampel untuk penaksiran
produktivitas sebetulnya masih kurang. Saat ini, satu sampel plot ubinan dengan
ukuran 6,25 m2 digunakan untuk menaksir produktivitas padi pada lahan seluas
188 hektar. Tentu kurang memadai untuk menggambarkan keragaman
produktivitas yang dipengaruhi banyak faktor, seperti teknologi
budidaya, jenis varietas,dan tingkat kesuburan tanah.
Solusi paling ideal untuk perbaikan akurasi data
produksi padi/beras nasional sebetulnya adalah dengan menyerahkan
sepenuhnya pengumpulan data produksi padi/beras kepada BPS. Dengan kata
lain, sistem pengumpulan data yang ada saat ini sudah semestinya ditinggalkan.
Dengan sistem yang ada saat ini, tak bisa dimungkiri konflik kepentingan pasti
terjadi mengingat 75 persen data yang digunakan dalam perhitungan
produksi/beras nasional dikumpulkan oleh petugas dinas pertanian.
Selain itu, data produksi padi/beras sebetulnya termasuk
data yang penggunaannya lintas sektor, dan menurut Undang-Undang No.16 tahun
1997 tentang statistik data seperti ini termasuk statistik dasar yang
pengumpulannya harus dilakukan oleh BPS. (*)
Komentar
Posting Komentar