Tahun ini bukan hanya tahun politik, tapi juga tahun pembuktian
terwujudnya sejumlah target politik pemerintahan SBY-Budionoyang sudah di
ambang senja.
Salah satu target itu adalah surplus beras 10 juta
ton. Maklum, hingga kini beras masih memiliki nilai politis sebagai tolak
ukur keberhasilan pemerintah di bidang pangan.
Di atas kertas, pencapaian target ambisius ini sangat
ditentukan olehakurasi data yang digunakan dalam perhitungan surplus. Pendek
kata, tercapai atau tidaknya target ini membutuhkan justifikasi data statistik.
Data pokok yang digunakan dalam perhitungan surplus beras
adalah data produksi padi yang dikonversi ke beras dan data konsumsi beras.Soal
akurasi, kedua data ini kerap menuai kritikan dari banyak kalangan.
Data produksi padi ditengarai over-estimated atau lebih
tinggi dari angka yang sebenarnya. Akibatnya, disasosiasi antara
produksi, stok, dan harga beras di pasarkerap terjadi.
Pada 2011, misalnya, data menunjukkan produksi beras cukup
melimpah. Namun, pada saat yang sama, Bulog mengalami kesulitan dalam pengadaan
beras, dan harga beras di pasar merangkak naik karena kekurangan
suplai. Impor beras sepanjang 2011 bahkan nyaris 3 juta ton.
Padahal, surplus ditaksir mencapai 4 juta ton.
Sementara itu, angka konsumsi beras nasional sebesar 139
kilogram per kapita per tahun, selain dianggap ketinggian, asal-usulnya
juga dipertanyakan. Sejumlah kalangan bahkan menganggap angka ini
merupakan hasil kesepakatan politis,ketimbang hasil hitung-hitungan
ilmiah.
Pada awal bulan ini (3 Maret), BPS telah merilis angka
sementara produksi padi pada 2013. BPS melaporkan, produksi padi pada tahun
lalu mencapai 71,3 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara
dengan 40,6 juta ton beras. Menurut kalkulasi pemerintah, angka ini
menunjukkan surplus beras mencapai 7 juta ton pada 2013. Itu
artinya, target surplus 10 juta ton kemungkinan bakal
sulitdiwujudkan.
Menariknya, bila menggunakan angka konsumsi beras
terbaru hasilsurvei BPS pada 2012, yakni sebesar 114 kilogram per kapita
per tahun, surplus beras pada tahun lalu ternyata nyaris menembus
12 juta ton.
Artinya, pencapaiaan target surplus beras 10 juta ton telah
berhasil direngkuh. Tapi, mengapa tak ada pernyataan resmi dari pemerintah
bahwa target ambisius ini telah tercapai?
Tentu janggal, dan kejanggalan ini membuktikan, data
produksi memang over-estimateddan perlu dikoreksi. Karena itu, perbaikan
data produksi sebagai pijakan justifikasi pencapaian target surplus
mutlak dilakukan. Bila tidak, surplus hanya angka-angka di atas
kertas.
Telah lama diketahui, kelemahan utama dalam perhitungan
produksi padi adalah pengumpulan data luas panen yang tidak didasarkan pada
survei statistik. Metode yang lazim digunakan adalah pandangan mata atau eye
estimate. Dalam prakteknya, petugas hanya datang ke sawah yang tanaman padinya
siap dipanen kemudian memperkirakan luasnya. Masih mending petugas datang
ke sawah, bagaimana kalau perkiraan luas panen dilakukan di atas meja?
Karena itu, mengingat pentingnya akurasi data produksi
padi/beras dalam perumusan kebijakan, pengumpulan data luas panen mesti segera
dibenahi dan didasarkan pada survei statistik. Misalnya, dengan memanfaatkan
data citra satelit resolusi tinggi. Teknologi dan sumberdayanya sudah tersedia,
yang dibutuhkan hanya komitmen dan keseriusan pemerintah. (*)
Komentar
Posting Komentar