Seperti diberitakan sejumlah media dalam jaringan beberapa waktu lalu, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, melayangkan protes kepada Badan Pusat Statistik (BPS) ihwal definisi penduduk yang digunakan saat melakukan pendataan. Menurut Ahok, BPS seharusnya hanya mengikutkan warga DKI yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) ketika melakukan perhitungan jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Ibu Kota (Liputan6.com, 9 Oktober).
Protes Ahok tersebut tentu saja tidak bisa diterapkan oleh BPS. Pasalnya, sebagai lembaga statistik resmi (official statistics), BPS bekerja berdasarkan terminologi yang sudah baku dan disepakati secara internasional, termasuk dalam soal konsep “penduduk”. Hal ini penting agar ada keseragaman, konsistensi, dan keterbandingan data antar negara, yang merupakan kelaziman dalam statistik resmi.
Dalam memproduksi statistik resmi, BPS harus tunduk pada 10 Fundamental Principles of Official Statistics yang telah digariskan oleh Divisi Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Statistics Division). Salah satu prinsip dari sepuluh prinsip tersebut menyebutkan: the use by statistical agencies in each country of international concepts, classifications and methods promotes the consistency and efficiency of statistical systems at all official levels.
Karena itu, konsep penduduk yang digunakan oleh BPS, ketika menyelenggarakan kegiatan statistik (baik sensus maupun survei), haruslah konsep baku yang disepakati dan berlaku secara internasional. Dan, menurut konsep baku tersebut, penduduk didefinisikan sebagai semua orang yang berdomisili di wilayah geografis tertentu selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Dengan kata lain, pengkategorian seseorang sebagai penduduk suatu wilayah (termasuk DKI) tidak mempersoalkan ada tidaknya KTP.
Identitas Diri
Jika konsep penduduk “versi Ahok” diterapkan oleh BPS, hampir dipastikan angka kemiskinan dan pengangguran di Jakarta, baik secara absolut maupun persentase, bakal berkurang. Pasalnya, sebagian besar penduduk miskin Jakarta adalah kaum marginal yang mendiami wilayah-wilayah kumuh, yang lazim dijumpai di sekitar bantaran kali dan pinggiran rel kereta api. Mereka pada umumnya adalah pendatang dari daerah yang tidak memiliki bukti identitas diri sebagai warga ibu kota, seperti KTP dan kartu keluarga (KK).
Jika yang dianggap penduduk DKI hanya mereka yang memiliki KTP, secara otomatis kaum marginal tersebut tidak dianggap sebagai “penduduk” Ibu Kota. Dengan kata lain, keberadaan mereka “antara ada dan tidak ada”. Secara fisik (de facto) mereka berdomisili di Jakarta, namun secara resmi (de jure) keberadaan mereka tidak terekam secara remi sebagai warga Jakarta.
Sedikitnya ada dua konsekuensi dari hal ini. Pertama, data statistik yang ada tidak akan menggambarkan kondisi kemiskinan yang sebenarnya terjadi di Jakarta. Musababnya, ada potongan informasi yang hilang atau diabaikan. Kedua, berbagai program anti-kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sifatnya target sasaran (targeting) dan eksekusinya didasarkan pada keberadaan identitas diri— seperti KTP dan KK—kemungkinan besar tidak akan menyasar atau sampai ke mereka. Ini tentu tak adil.
Barangkali, hal ini merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa angka kemiskinan di Jakarta selama setahun terakhir terus bertambah, meski pada saat yang sama Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah menjalankan sejumlah program yang berpotensi mereduksi kemiskinan di Ibu Kota, seperti program Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar. (*)
Komentar
Posting Komentar