Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), statistik boleh
dibilang adalah salah satu pilar demokrasi. Pemanfaatan informasi berupa
data-data statistik menjadikan output proses elektoral sangat berkualitas
karena didasarkan pada penilaian atas kinerja yang terekam melalui angka-angka
statistik.
Tengoklah kampanye pemilihan presiden AS baru-baru lalu,
betapa angka-angka statistik resmi (official statistics) mendapat posisi
penting dalam materi kampanye setiap calon untuk merebut hati pemilih.
Tidak heran kalau kemudian di AS, deskripsi mengenai kinerja pemerintah—umumnya
terkait kondisi ekonomi—yang tergambar melalui angka-angka statistik resmi
menjadi faktor yang sangat menentukan keputusan pemilih saat menjatuhkan
pilihan di bilik suara.
Sayang, di Indonesia peran statistik dalam kehidupan
demokrasi belum seperti di AS meskipun katanya kita adalah negara demokratis
terbesar ketiga di dunia. Dalam pemilihan presiden atau kepala daerah, misalnya,
sebagian besar pemilih kita lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama
sekali tidak berkorelasi dengan kualitas calon, contohnya popularitas.
Ini tentu merupakan tantangan bagi para statistikawan yang
berkecimpung di ranah statistik resmi: bagaimana menumbuhkan yang namanya
budaya statistik (statistics culture) di masyarakat. Para pegiat statistik
resmi tidakhanya dituntut untuk menghasilkan statistik yang berkualitas (akurat
dan dapat dipercaya), tetapi juga mampu mengkomunikasikan statistik yang
dihasilkan dengan baik kepada publik.
Menyesatkan
Kalau mau jujur, di Indonesia apresiasi publik terhadap
statistik resmi yang dirilis pemerintah—dalam hal ini Badan Pusat Statistik
(BPS)—masih sangat rendah. Sebagian publik bahkan justru tidak percaya dan
menganggapnya hanyalah sebagai alat pencitraan pemerintah. Hal seperti ini
memang wajar saja terjadi. Namun bakal sangat berbahaya jika sikap abai dan
penolakan terhadap statistik resmi dilakukan secara membabi-buta.
Ujung-ujungnya yang terjadi adalah penyangkalan terhadap fakta kemajuan.
Di samping statistik resmi yang dirilis pemerintah, dewasa
ini publik juga kerap disuguhi ragam statistik yang disajikan oleh
lembaga-lembaga non-pemerintah. Misalnya, terkait pemilihan presiden yang bakal
di helat di 2014 nanti, belakangan ini kita sering disuguhi hasil survei
tentang tingkat keterpilihan (elektabilitas) sejumlah tokoh yang dirilis
berbagai lembaga survei.
Hal ini tentu sangat positif terkait pemanfaatan statistik
dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, karena informasi yang dihasilkan melalui
suatu kegiatan statistik (survei) sifatnya satu arah, yakni publik—yang umumnya
awan tentang statistik—tidak bisa melakukan semacam verifikasi silang terkait
kesahihan dan keterandalan metode survei yang digunakan, para pegiat survei
dituntut profesional berdasarkan prinsip-prinsip ilmu statistik.
Tentu akan sangat berbahaya jika para pegiat survei tidak
profesional. Misalnya, hasil survei ditentukan oleh siapa yang mendanai alias
sesuai pesanan. Yang seperti ini tentu tak baik dan tak sehat untuk kehidupan
demokrasi kita karena setiap hasil survei yang dirilis di ruang publik—meskipun
sebetulnya menyesatkan—bisa memengaruhi persepsi publik dalam spektrum yang
luas.(*)
Komentar
Posting Komentar