Pada Juni tahun ini pemilihan kepala daerah
(pilkada) akan dihelat serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten dengan
melibatkan sekitar 160 juta pemilih potensial. Gelaran pilkada yang cukup masif
ini diharapkan dapat menghasilkan pemimpin daerah yang mampu menjawab tantangan
pembangunan di level regional, seperti persoalan kemiskinan, penciptaan
lapangan kerja, ketimpangan ekonomi, dan rendahnya kualitas pembangunan
manusia.
Faktanya, 17 provinsi yang bakal menghelat pilkada
serentak pada 2018 menyumbang sekitar 66 persen Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional pada 2016. Selain itu, dari 26,6 juta penduduk miskin pada
September 2017, sebanyak 21,5 juta orang
atau 81 persen terdapat di 17 provinsi tersebut. Dalam soal ketenagakerjaan,
potretnya kurang lebih sama. Total jumlah penganggur terbuka di 17 provinsi
yang akan menggelar pilkada mencapai 5,2 juta orang atau mencakup sekitar 75
persen dari total penganggur terbuka nasional pada Agustus 2017 yang mencapai 7
juta orang.
Karena itu, output dari pilkada serentak kali ini
bakal menentukan kualitas pembangunan regional dan nasional dalam lima tahun
kedepan, yang secara demografis, dampaknya bakal dirasakan oleh sekitar tiga
per empat penduduk negeri ini.
Peran
informasi
Pilkada merupakan kontestasi politik yang dengannya masyarakat
dapat menilai kualitas para calon secara obyektif sebelum menentukan pilihan
secara rasional. Dalam bukunya Economic
Theory of Democracy, Anthony Downs menganalogikan mekanisme pemilihan,
seperti pilkada, ibarat sebuah pasar yang mempertemukan dua pihak untuk
bertransaksi: para calon yang menawarkan kualitas kepemimpinan dan platform politik
(program); dan masyarakat sebagai pemilih yang membutuhkan apa yang ditawarkan
para calon.
Agar pasar tersebut berfungsi ideal, dua kondisi
harus terpenuhi. Pertama, kedua pihak yang bertransaksi bertindak rasional.
Kedua, para calon dan pemilih memiliki semua informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan.
Informasi yang relevan memainkan peran yang sangat
vital karena asimetri informasi bakal mendistorsi pasar. Dalam konteks pilkada,
hal ini acapkali termanifestasi dengan terpilihnya calon yang berkualitas buruk
(adverse selection).
Berdasarkan informasi yang diterima, secara rasional
masyarakat bakal memilih calon yang dianggap paling berpeluang mewujudkan ekspektasi
mereka secara maksimal. Dalam hal ini, ekspektasi publik adalah kepemimpinan
yang berdampak peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah.
Maka, suplai informasi yang relevan menjadi sangat
penting. Informasi ini tidak hanya mencakup kualitas individu para calon (kepemimpinan
dan integritas) tapi juga isu-isu pembangunan terkini dan berbagai program yang
ditawarkan.
Statistik
resmi
Proses demokrasi mensyaratkan hadirnya masyarakat
yang berpengetahuan (knowledge society)
agar berfungsi ideal. Dalam hal ini, suplai informasi saja tidak cukup karena
seperti kata Einstain, “information is
not knowledge.”
Dewasa ini, ongkos memproduksi informasi dan
menyebarluaskannya menjadi kian murah seiring pesatnya perkembangan teknologi
informasi. Konsekuensinya, setiap hari kita dibombardir dengan arus informasi
yang seolah tak terbendung.
Sayangnya, tidak semua informasi tersebut adalah
pengetahuan yang mencerahkan, bahkan tidak jarang justru merupakan berita
bohong (hoax) yang bakal mendistorsi
ekspektasi dan opini publik terhadap suatu isu. Akibatnya, ongkos pemilahan
informasi yang benar dan mengubahnya menjadi pengetahuan menjadi sangat mahal.
Celakanya, informasi yang mendistorsi ekspektasi dan
opini publik ini justru menyebar begitu cepat laksana virus. Meminjam istilah
epidomologi, masyarakat yang terinveksi berkembang dengan pesat karena informasi
dapat ditransmisikan dengan mudah dan cepat melalui media sosial.
Ihwal berbagai isu pembangunan, vaksin yang dapat
membendung penyebaran virus tersebut adalah data statistik resmi (official statistics). Hal ini memungkinkan
karena statistik resmi adalah pengetahuan yang diproduksi secara imparsial oleh
institusi resmi. Selain itu, kualitasnya selalu dipantau oleh lembaga
internasional yang berperan sebagai wacth-dog
untuk memastikan statistik tersebut dihasilkan menurut standar yang disepakati
secara global.
Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan
lembaga resmi yang secara rutin memproduksi berbagai indikator sosial-ekonomi, seperti
pertumbuhan ekonomi, gini rasio, tingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka,
serta indeks pembangunan manusia. Indikator-indikator ini merangkum berbagai
persoalan pembangunan secara faktual, baik di tingkat nasional maupun regional.
Agar helatan pilkada serentak berkualitas, data
statistik resmi yang relevan dengan isu pembangunan regional di setiap daerah
harus menjadi materi kampanye para calon serta menu utama dalam berbagai
diskusi publik dan debat politik terkait pilkada.
Penguasaan data statistik yang mumpuni galibnya
menjadi acuan masyarakat untuk menilai kemampuan setiap kandidat dalam membedah
dan memetakan berbagai persoalan pembangunan sekaligus memberikan solusi atas persoalan
tersebut.
Selain itu, mengingat tidak sedikit para calon yang bakal
bertarung adalah petahana, sejumlah indikator statistik yang memotret progres pembangunan
dapat dijadikan patokan dalam menilai kinerja mereka secara obyektif. Dengan
demikian, mekanisme sticks and carrots, yakni sanksi tidak terpilih
kembali dan keistimewaan terpilih kembali, dapat berjalan secara optimal.
Terkait hal ini, peran media dalam penyebarluasan
statistik resmi untuk membentuk ekspektasi dan opini publik terhadap suatu isu
menjadi sangat vital. BPS juga perlu mendorong literasi statistik agar
indikator sosial-ekonomi yang dihasilkan dapat dimaknai secara benar.
Tak bisa ditampik, pemaknaan yang kurang pas
terhadap suatu data oleh para pemerhati pembangunan kerap terjadi, termasuk
dalam konteks pilkada. Indikator pertumbuhan ekonomi, misalnya, sering kali
dieksploitasi secara sembrono sebagai indikator tunggal untuk menjustifikasi
kemajuan pembangunan meski disertai ketimpangan ekonomi yang tinggi dan/atau digapai
dengan menguras sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan
keberlanjutannya. (*)
Komentar
Posting Komentar