Awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja
merilis kabar gembira. Ekonomi nasional tahun 2012 dilaporkan bertumbuh sebesar
6,23 persen. Memang sedikit lebih rendah dari yang ditargetkan pemerintah
sebesar 6,5 persen. Tapi, pertumbuhan sebesar 6,23 persen ini, boleh dibilang
cukup tinggi, di tengah situasi ekonomi global yang belum menggembirakan.
Dengan pertumbuhan sebesar 6,23 persen ini, Produk Domestik
Bruto (PDB) tahun 2012 yang dinilai berdasarkan basis harga-harga tahun 2000
mencapai Rp2.618,1 triliun. Jika dinilai berdasarkan harga-harga tahun 2012,
nilai PDB mencapai Rp8.241,9 triliun. Dan itu artinya, pendapatakn per kapita
(hasil bagi PDB terhadap jumlah penduduk) pada tahun 2012 telah menyentuh
Rp33,3 juta atau USD3.562,6 per tahun, meningkat jika dibandingkan pendapatan
per kapita tahun 2011 yang mencapai Rp30,4 juta atau USD3.498,2 per tahun.
Statistik yang sudah barang tentu sangat menggembirakan.
Sayangnya, statistik kemiskinan yang dirilis BPS sebulan
sebelumnya tak semenggembirakan laporan di atas. Jumlah penduduk miskin pada
September 2012 memang dilaporkan menurun. Namun penurunannya sangat tipis,
hanya sebesar 0,54 juta orang atau sekitar 0,3 persen dibanding kondisi Maret
2012. Jika dibandingkan dengan kondisi September 2011, penurunan jumlah
penduduk miskin hanya sebesar 1,3 juta orang atau sekitar 0,7 persen, sangat
jauh dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,23 persen sepanjang tahun 2012.
Itu artinya, pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 yang
menunjukkan telah terjadi pertumbuhan pendapatan secara agregat sebesar 6,23
persen ternyata memiliki dampak yang lemah terhadap penurunan kemiskinan.
Penduduk miskin kenyataannya hanya sedikit diuntungkan dari pertumbuhan yang
terjadi. Dengan kata lain, bagian kue pertumbuhan ekonomi yang mereka nikmati
sangat kecil. Para ekonom menyebut situasi ini sebagai pertumbuhan yang tidak
pro terhadap si miskin alias pro-poor.
Siapa yang tumbuh?
Secara teoritis, ada tiga metode atau pendekatan yang
digunakan untuk menghitung PDB: pendekatan produksi, pendapatan, dan
pengeluaran. Dengan memahami ketiga pendekatan ini—setidaknya dua pendekatan
yang pertama—pertanyaan mengapa si miskin kurang diuntungkan dengan pertumbuhan
yang terjadi atau hanya menikmati sebagian kecil dari kue pertumbuhan ekonomi
yang tercipta akan mudah untuk dijawab.
Dengan pendekatan produksi, PDB merupakan agregasi atau
penjumlahan seluruh nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh
proses produksi selama periode tertentu—misalnya satu tahun—di wilayah
tertentu. Terus apa yang dimaksud dengan nilai tambah itu, apakah yang dimaksud
adalah output yang dihasilkan dari suatu proses produksi? Contoh berikut ini
mungkin akan sangat membantu.
Jika untuk menghasilkan puluhan potong ayam goreng tepung
senilai—katakanlah—Rp500.000 dalam sehari, sebuah industri rumahan membutuhkan
ongkos produksi sebesar Rp200.000 untuk membeli daging ayam, tepung, minyak
goreng, gas, dan bahan-bahan lainnya, maka nilai tambah yang dihasilkan oleh
industri rumahan tersebut adalah Rp300.000 dalam sehari atau sekali proses
produksi. Dengan demikian, dari contoh ini nilai tambah merupakan hasil
pengurangan nilai ouput yang dihasilkan (puluhan potong ayam goreng tepung siap
santap senilai Rp500.000) dengan ongkos produksi yang dikeluarkan untuk input
antara/intermediate input , yakni sebesar Rp200.000.
Dalam prakteknya, para statistisi menghitung PDB dengan
menjumlahkan nilai tambah seluruh industri rumahan ayam goreng tepung yang ada,
serta menjumlahkannya pula dengan nilai tambah yang dihasilkan oleh proses
produksi lainnya dalam periode dan wilayah yang sama, seperti nilai tambah dari
kegiatan menanam padi, jasa potong rambut, merakit atau memproduksi kendaraan
bermotor, menjahit pakaian, dsb.
Kenyataannya, sebagian besar nilai tambah yang dijumlahkan
itu merupakan kontribusi dari kegiatan usaha atau bisnis skala besar.
Kontribusi usaha-usaha kecil seperti industri ayam goreng tepung di atas relatif
kecil.
Celakanya, jumlah usaha besar jauh lebih sedikit dibanding
usaha kecil. Pelaku usaha besar umumnya hanya segelintir orang, sementara
pelaku usaha kecil bukan main banyaknya. Karena itu, bisa saja terjadi
pertumbuhan ekonomi tampak begitu mengesankan, namun di balik itu banyak usaha
kecil ternyata jatuh bergugurun. Padahal, sebagian besar orang kecil justru
hidup dari usaha yang kecil-kecil.
Ambil contoh, misalnya usaha besar yang menyumbang sebesar
80 persen terhadap total nilai tambah yang tercipta (PDB) tumbuh sebesar 8
persen, dan pada saat yang sama usaha kecil yang hanya menyumbang 20 persen
terhadap PDB justru mengalami kontraksi (tumbuh negatif) sebesar -0,85 persen.
Secara matematis, pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebesar 0,8 X 8 – 0,2 X 0,85
= 6,23 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi tampak mengesankan, padahal pada
saat yang sama banyak usaha kecil mati berguguran.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2012 yang mencapai 6,23 persen itu
bisa saja polanya seperti ini. Atau mungkin juga usaha kecil tumbuh positif,
namun pertumbuhannya kalau jauh dengan usaha besar.
Inilah sebetulnya jawaban dari kegundahan banyak orang,
mengapa ekonomi dilaporkan tumbuh mengesankan, tapi orang kecil merasakan
kehidupan justru kian sulit secara ekonomi? Pemerintah tidak berbohong karena
yang salah bukan angka pertumbuhan ekonominya, tapi pola pertumbuhannya. (*)
Komentar
Posting Komentar