Anda tentu pernah mendengar cerita lama tentang keberhasilan
Indonesia dalam merengkuh swasembada beras di jaman Orde Baru. Prestasi gilang-gemilang,
yang seolah begitu sulit untuk kembali diulang, itu menjadikan Pak Harto
diganjar penghargaan oleh organisasi pangan dan pertanian internasional, Food
and Agriculture Organization (FAO). Penghargaan tersebut di terima Pak Harto di
Roma, Italia, pada tahun 1984.
Capaian Indonesia dalam merengkuh swasembada beras kala itu
memang bukan isapan jempol. Tetapi kasat mata dan diakui dunia internasional.
Tanpa justifikasi data statistik pun, produksi beras nasional kenyataannya
begitu melimpah.
Saking melimpahnya, Indonesia—dalam hal ini Badan Urusan
Logistik (Bulog)—memutuskan untuk masuk ke pasar beras internasional sebagai
eksportir. Meskipun merugi, keputusan Bulog itu berhasil mengguncang pasar
beras internasional. Betapa tidak. Harga beras jatuh dari USD250 per ton
menjadi USD150 per ton akibat ekspor beras dalam jumlah besar yang dilakukan
Indonesia.
Jika ditarik ke belakang, sejarah kejayaan perberasan
Indonesia (dulu Nusantara) sebetulnya sudah terjadi sejak ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu. Dalam berbagai literatur sejarah kuno, Pulau Jawa—pulau di
mana sekitar 60 persen produksi beras nasional dihasilkan—sering disebut
sebagai JawaDwipa atau pulau padi karena produksi padi/berasnya yang melimpah.
Bahkan konon, Ptolomeus, ahli geografi jaman Yunani kuno itu, pernah menuliskan
pulau Jawa dengan sebutan Iabadiu atau pulau padi. Sungguh potongan mozaik
kejayaan masa lalu yang begitu indah lagi membanggakan untuk dikenang.
Sayangnya, saat ini kondisinya telah berbalik. Indonesia
mengguncang harga beras di pasar internasional dengan cara yang berbeda. Bukan
lagi sebagai eksportir, tapi importir. Bukan pula sembarang importir, tapi
salah satu importir beras terbesar sejagat.
Kini, Indonesia kerap dituduh sebagai biang kerok kenaikan
harga beras di pasar internasional. Bayangkan, dari sekitar 8 juta ton beras di
pasar internasional, sekitar 1,5 juta ton sampai 2 juta tonnya habis diborong
oleh Indonesia. Tahun 2011 lalu, realisasi impor beras yang dilakukan Bulog
mencapai 2,16 juta ton. Impor beras sebanyak itu telah menggerus sekitar 7
triliun devisa negara.
Itulah konsekwensi menjadi bangsa pemakan—nasi yang ditanak
dari—beras terbanyak di dunia. Kita mengimpor bukan karena produksi beras kita
tak semelimpah dulu. Tapi karena produksi yang melimpah itu kurang mencukupi
untuk menjaga cadangan atau stok beras nasional dalam posisi aman serta untuk mengisi
perut lebih dari 230 juta penduduk. Bayangkan, konsumsi beras penduduk
Indonesia mencapai 139,15 kilogram per orang per tahun, tertinggi di dunia.
Tantangan kedepan bakal lebih berat. Kebutuhan beras
nasional akan terus meningkat seiiring pertambahan jumlah penduduk. Dan
parahnya, peningkatan kebutuhan beras itu jauh lebih cepat dibanding
peningkatan produksi beras. Bayangkan, dalam sepuluh tahun kedepan saja, jumlah
penduduk diproyeksikan akan bertambah sebanyak 30 juta jiwa. Artinya, jika
konsumsi beras per kapita tetap pada angka 139,15 kilogram per tahun, secara
rata-rata harus tersedia tambahan sebanyak 0,42 juta ton beras setiap tahunnya.
Padahal, menggenjot produksi beras nasional tidaklah mudah di tengah kondisi
sawah-sawah kita yang tak lagi subur dan kian derasnya alih fungsi (konversi)
lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian: produktivitas melandai dan setiap
tahun luas lahan sawah terus menyusut.
Karena itu, pencapaian swasembada beras bukan melulu
tanggung jawab pemerintah dan petani padi. Tapi kita juga sebagi konsumen.
Dalam pencapaian swasembada beras, mengurangi makan nasi melalui diversifikasi
pangan begitu penting dan besar kontribusinya. Sama pentingnya dengan
menggenjot produksi beras nasional, baik melalui peningkatan produktivitas
maupun perluasan luas tanam (mencetak sawah baru). Bedanya, menggenjot produksi
sangat mahal karena menghabiskan dana hingga puluhan triliun rupiah, sementara
mengurangi makan nasi hanya membutuhkan sedikit kesadaran dan pengorbanan dari
kita semua.
Ayo kurangi makan nasi untuk mengembalikan kejayaan negeri
ini dalam hal perberasan! Toh manfaatnya juga baik buat diri sendiri. Selain
berhemat, juga bisa mencegah penyakit diabetes. Dengan demikian, prestasi
Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengidap diabetes nomor empat terbanyak
di dunia bisa diperbaiki. (*)
Komentar
Posting Komentar