Anda yang pernah duduk di bangku sekolahan tentu masih menyimpan memori tentang buku berjudul The History of Java. Setidaknya nama penulisnya: Sir Thomas Stamford Raffles.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan membaca terjemahan buku tersebut dalam bahasa Indonesia di Gramedia Depok. Bukunya lumayan tebal. Itupun versi ringkasnya dengan mengeluarkan sejumlah bagian yang dianggap kurang perlu. Versi aslinya tentu lebih tebal lagi.
Di sampul belakang buku itu tertulis pernyataan Raffles yang sedikit jumawa. Tidak ada yang lebih paham secara mendalam mengenai sejarah Tanah Jawa, bahkan dibanding orang Jawa sendiri, selain dia. Tentu saja Refless berani menyatakan demikian bukan karena tebalnya buku yang telah ia tulis, tapi karena kelengkapan informasi yang terkumpul di dalam bukunya.
Nampaknya, Raffles telah mencatat semua hal mengenai Tanah Jawa secara lengkap, cermat, dan teliti tanpa melewatkan sepotong informasi pun. Ia tidak hanya mengisahkan sejarah sebagai rentetan peristiwa yang menembus dimensi ruang dan waktu, tapi ia juga melengkapinya dengan informasi kuantitatif, yakni angka-angka yang merekam fenomena yang terjadi pada masanya: statistik.
Saya terpana ketika membaca informasi demografis penduduk Pulau Jawa dan Madura yang disajikan Raffles dalam bukunya. Betapa tidak, informasi yang merupakan hasil sensus penduduk yang dilakukan Pemerintah Inggris pada 1815 itu dirangkum dalam tabel-tabel statistik yang untuk menyusunnya dibutuhkan kecermatan, ketelitian, dan logika yang lurus.
Melalui tabel-tabel itu, kita jadi tahu bahwa total penduduk Pulau Jawa saat itu sekitar 2 juta orang, lengkap dengan informasi sebarannya menurut jenis kelamin, profesi, suku bangsa, dan karasidenan. Dan patut dicatat, semua informasi itu dikumpulkan pada 1815, ketika nenek moyang kita tengah larut dalam mitos dan dunia supranatural.
Saya juga terpana dengan tabel-tabel yang memuat informasi mengenai produksi sejumlah komoditas pertanian di Pulau Jawa seperti padi, jagung, tanaman perkebunan, dan aneka hewan ternak. Dalam keterpanaan itu, saya bergumam di dalam hati. Pantas saja kita menjadi bangsa terjajah kala itu. Tak tanggung-tanggung lamanya hingga ratusan tahun. Kita dijajah oleh bangsa Eropa yang unggul dan tangguh dalam persenjataan dan ilmu pengetahuan.
Bayangkan, di saat sebagian besar nenek moyang kita tengah terkungkung dalam keterbelakangan, buta huruf dan tak tahu baca tulis, kaum penjajah telah menggunakan statistik. Sesuatu yang hingga saat ini masih asing di telinga banyak orang Indonesia.
Buku Raffles telah meneguhkan bahwa statistik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah. Statistik mencatat sejarah secara obyektif tanpa peduli siapa yang menjadi pemenang dan penguasa. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa catatan sejarah tanpa statistik ibarat sayur tanpa garam: hambar rasanya.
Dalam konteks sejarah ekonomi dan politik negeri ini, contohnya, kisah mengenai kegentingan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi pada 1998 akibat krisis ekonomi bakal terasa hambar dan kurang bertenaga tanpa ulasan mengenai pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi hingga -13,7 persen, inflasi yang meroket hingga menembus 77,63 persen, dan jumlah penduduk miskin yang melonjak menjadi 48,99 juta orang sehingga membikin capaian pembangunan ekonomi yang telah susah payah direngkuh selama lebih dari tiga dasawarsa seolah ambruk dalam semalam.
Statistik tidak hanya membantu kita merekonstruksi dan memahami apa yang terjadi di masa lampau secara terang dan mendalam, tapi juga dalam memprediksi apa yang terjadi di masa datang secara cermat dan akurat. Pasalnya, rentetan kejadian di muka bumi ini kerap membentuk pola yang seringkali berulang dengan berbagai variasi dan modifikasinya. Dan, statistik membantu kita untuk menerka apa yang bakal terjadi di masa datang dengan merekam pola-pola tersebut secara kuantitatif.
Buku Raffles kembali mengingatkan saya pada ujaran Pak Rusman Heriawan, mantan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), pada suatu masa ketika lebih dari seribu pegawai BPS dikumpulkan di sebuah auditorium untuk menerima pengarahan mengenai reformasi birokrasi. Di gedung yang belum juga hilang bau catnya itu, ia berucap “pekerjaan kita (para statistisi) adalah mencatat sejarah pembangunan bangsa dengan data.” (*)
Komentar
Posting Komentar