Suatu ketika, dalam sebuah workshop mengenai
pembangunan pertanian, seorang ahli pengembangan wilayah dari Institut
Pertanian Bogor mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami, para peserta workshop.
Pertanyaan itu adalah “Menurut Anda, apakah pembangunan dikatakan berhasil bila
tak ada lagi desa, atau dengan kata lain semua desa telah berubah menjadi
kota?”. Hampir semua peserta menjawab setuju atas pertanyaan ini. Dan ternyata,
jawaban persetujuan itu adalah sebuah kekeliruan.
Celakanya, kekeliruan ini ternyata jamak terjadi di kalangan
para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan yang mengurusi pembangunan di
negeri ini. Akibatnya, pembangunan acapkali bias ke kota dan sektor
pertanian-pedesaan kian terpinggirkan.
Wilayah pedesaan yang perekonomiannya bercorak pertanian
tidak melulu harus menjadi wilayah perkotaan—yang perekonomiannya lebih bercorak
industri dan jasa—agar dikatakan maju. Dalam soal hubungan kota dan desa
yang ideal, pembangunan dikatakan berhasil bila terjadi hubungan yang saling
menguntungkan antara keduanya. Hubungan saling menguntungkan itu adalah kota
yang maju ditopang oleh desa yang modern.
Yang dimaksud dengan desa yang modern adalah desa
dengan infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, dan air bersih, yang
lengkap. Fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan serta akses ke kota juga
tersedia. Desa yang modern menopang perkotaan dengan menyuplai produk pangan,
baik dalam bentuk segar maupun olahan.
Desa yang moderen tetap mempertahankon corak perekonomiannya
yang berbasis pertanian. Namun bukan pertanian yang identik dengan kemiskinan
dan kemelaratan, tetapi pertanian yang maju dan moderen serta memberi
kesejahteraan serta terintegrasi dengan industri yang berbasis produk pertanian-pedesaan
(argo industri).
Selama ini, hubungan antara kota dan desa seringkali tidak
saling menguntungkan. Yang terjadi, kota yang identik dengan kemajuan dan
menjanjikan kesejahteraan justru hanya menjadi tempat penampungan penduduk
miskin dari desa melalui proses urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa
ke kota. Sebaliknya, desa yang identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan
terus ditinggalkan oleh penduduk usia produktifnya, yang merantau ke kota.
Akibatnya, wilayah pedesaan menjadi kekurangan tenaga
produktif. Mereka yang bertahan di desa adalah generasi tua yang tidak memiliki
banyak pilihan selain bertani. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Sensus
Pertanian tahun 2103 (disingkat ST2013) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat
Statistik. BPS melaporkan, sekitar 60 persen petani negeri ini berumur di atas
45 tahun. Sekitar sepertiganya bahkan telah berumur di atas 55 tahun.
Tidak membikin heran bila selama ini perpindahan penduduk
dari desa ke kota begitu sulit dibendung. Tidak usah heran pula bila sebagian
besar penduduk desa yang datang ke kota kenyataannya berpendidikan rendah dan
minim keahlian, sehingga kehadiran mereka justru kian menambah runyamn persoalan
sosial di kota, seperti kekumuhan, kemiskinan, pengangguran, dan meningkatnya
tingkat kriminalitas.
Semua itu terjadi karena hubungan kota dan desa yang tidak
ideal dan pembangunan yang bias ke kota. Secara psikologis, jika desa telah
menjadi tempat tinggal yang nyaman, serta kemakmuran dan kemajuan bisa
didapatkan di sana, untuk apa berletih dan jauh-jauh merantau ke kota,
meninggalkan keluarga dan kampung halaman. (*)
Komentar
Posting Komentar