Beberapa hari yang lalu kami sibuk menyiapkan data untuk seorang kakek tua. Sengaja saya sebut kakek tua untuk memberi penekanan pada usianya yang dengan itu membuat ia istimewa. Si Kakek Tua memang bukan orang biasa. Saking tuanya, ia pernah menjalani semua rezim pemerintahan yang pernah berkuasa di negeri ini, mulai dari Soekarno hingga Jokowi.
Data yang kami siapkan hari itu seputar kemiskinan dan beras. Kakek tua yang renta itu gundah dengan kondisi kemiskinan negeri ini yang tak kunjung membaik. Beberapa hari yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) meluncurkan statistik kemiskinan September 2015. Angkanya memang turun tipis 0,08 juta orang dibandingkan Maret 2015, tapi mengalami kenaikan 0,78 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014.
Indeks kedalaman dan indeks keparahan
kemiskinan juga mengalami kenaikan dibanding September 2014. Itu artinya,
kondisi serba kekurangan yang dialami penduduk miskin negeri ini kian
mengenaskan dalam setahun terakhir.
Target pembangunan pun meleset lagi.
Tren penurunan kemiskinan makin datar saja. Alih-alih bergerak maju, capaian
pengentasan kemiskinan justru mundur ke belakang. Ada apa ini? Apakah
datanya tidak akurat, mengapa kartu-kartu sakti itu belum juga menunjukkan
tuahnya?
Seperti diketahui, pasal 32 Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan menyebutkan bahwa dalam
melaksanakan anggaran negara 2015 pemerintah harus berjuang sekuat tenaga
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Salah satu indikatornya
adalah penurunan persentase penduduk miskin menjadi 10,3 persen dari total
penduduk Indonesia. Faktanya, jumlah penduduk miskin pada September 2015
mencapai 28,51 juta orang atau mencakup 11,13 persen dari total penduduk
Indonesia, tak jauh berbeda dengan kondisi pada 2013.
Meski penurunan kemiskinan sebesar 0,08
juta orang boleh dibilang tak berarti, penurunan tersebut harus tetap
disyukuri. Memang tidak sepadan jika dibandingkan dengan capaian penurunan
kemiskinan kala Si Kakek Tua menjadi salah satu arsitek utama pembangunan
ekonomi negeri ini, yang rata-rata mencapai 1 juta orang per tahun.
Bukankah masih ada waktu empat tahun
untuk bersabar dan menunggu? Bukankah sejumlah paket kebijakan ekonomi yang
telah diluncurkan itu, tinggal menunggu waktu—entah kapan—bakal memperlihatkan
dampaknya. Kita harus bersabar dan terus memelihara harapan.
Selain gundah dengan persoalan
kemiskinan negeri ini, Si Kakek Tua juga gundah dengan kebijakan perberasan
pemerintah saat ini yang menurutnya mulai berorientasi impor. Rasanya baru
kemarin komitmen mewujudkan kedaulatan pangan—tanpa impor—itu diteriakkan
dengan lantang. Ngiangnya pun belum hilang. Tapi apa daya, pemerintah telah
memutuskan untuk mengimpor jutaan ton beras dari Thailand dan Vietnam.
Rasanya baru kemarin pula presiden kita
menyatakan rasa malunya ketika ia ditanya oleh Perdana Menteri Vietnam kapan
akan mengimpor beras lagi dalam suatu kesempatan ketika melawat ke negeri
seberang. Rasa malu itu nampaknya telah menguap akibat El Nino dan tekanan
inflasi yang digerakkan oleh lonjakan harga beras beberapa waktu lalu.
Tidak berhenti di situ, beras impor dari
Thailand dan Vietnam nampaknya juga masih kurang. Jumat lalu (8/1), pemerintah
Pakistan menyatakan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah
Indonesia untuk mengekspor 1 juta ton beras senilai US$400 juta untuk
empat tahun ke depan, 2016-2019 (Kompas, 9 Januari).
Hmmm...Bukankah itu artinya, komitmen
mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan, khususnya beras, hanya sekadar bualan
saat musim kampanye?
Tapi, seperti halnya persoalan
kemiskinan, kita juga harus menunggu dengan sabar dan terus memelihara harapan.
Bukankah tinggal menunggu waktu—entah kapan—rencana pencetakan jutaan hektare
sawah baru itu bakal terlihat dampaknya. Produksi padi kita akan naik
berlipat-lipat. Kita akan kembali mengekspor beras ke luar negeri. Kenangan
indah swasembada beras pada dekade 80-an ketika Si Kakek tua menjadi salah satu
arsitek utama pembangunan negeri ini akan terulang kembali.
Si Kakek Tua itu bernama Emil Salim.
Hari itu, di usianya yang telah menginjak 85 tahun, ia masih mau bertandang ke
BPS untuk sekadar berdiskusi dan “mencari” data. Sebuah wujud rasa cinta yang
tak pernah lekang kepada Indonesia. (*)
Komentar
Posting Komentar