Telah lama disadari, kekayaan alam yang melimpah merupakan
modal penting bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain di pentas
dunia. Sayang potensi besar ini belum betul-betul kita manfaatkan.
Lahan pertanian yang luas lagi subur, misalnya, menjadikan
produksi komoditas pertanian kita melimpah. Tidak heran bila saat ini Indonesia
menjadi negara produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global.
Dalam soal beras, misalnya, meski belakangan ini kita sering
mengimpor beras atau menjadi negara net importir, produksi beras di dalam
negeri sejatinya melimpah. Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai
negeri penghasil beras terbesar di dunia setelah China dan India dengan
produksi beras ditaksir mencapai 37 juta ton.
Sayang, beras sebanyak ini ternyata belum mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk. Hal ini tercermin dari gejolak harga
beras yang kerap terjadi di pasar. Salah satu penyebabnya adalah konsumsi beras
penduduk Indonesia yang sangat tinggi. Bayangkan, setiap orang Indonesia
diperkirakan mengkonsumsi 114 kilogram beras dalam setahun.
Konsekuensinya, peningkatan produksi beras di dalam negeri
tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi beras akibat pertambahan jumlah
penduduk. Sehingga, suka atau tidak suka, impor beras mesti dilakukan.
Ironisnya, produksi beras yang melimpah ini ternyata
sebagian besarnya merupakan hasil pengorbanan dan jerih payah para petani kecil
yang mengelola lahan sawah rata-rata kurang dari setengah hektar (petani
gurem). Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 yang dirilis Badan Pusat Statistik
pada 2 Desember lalu menyebutkan, rata-rata luas lahan sawah yang dikelola oleh
petani kita hanya 0,2 hektar.
Itulah sebabnyameski produksi tinggi, banyak petani yang
tetap miskin. Secara faktual, sekitar 75 persen petani miskin di negeri ini
adalah petani padi dan palawija.
Indonesia juga berjaya sebagai produsen utama sejumlah
komoditas perkebunan, seperti kokoa, kelapa sawit, dan kelapa. Secara faktual,
saat ini Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit dan buah kelapa bulat
terbesar di dunia. Sementara untuk biji kokoa, Indonesia merupakan produsen
terbesar ke-2 di dunia.
Tidak membikin heran bila kemudian Indonesia menjadi
eksportir utama komoditas-komoditas tersebut di pasar global. Sayangnya, kita
lebih banyak mengekspor komoditas (bahan mentah) ketimbang produk turunannya.
Di negeri orang, komoditas-komoditas tersebut nilai
tambahnya meningkat karena diolah kembali menjadi sejumlah produk turunan. Dan
celakanya, tidak sedikit dari produk-produk turunan tersebut yang kemudian
diekspor kembali ke Indonesia.
Begitulah faktanya, kita mengekspor biji kokoa ke
negara-negara eropa, namun pada saat yang sama kita juga mengimpor cokelat
(produk olahannya) dari negara-negara tersebut. Padahal, biji kokoanya dari
tanah kita.
Kelapa adalah contoh yang lebih miris. Meski kita adalah
produsen kelapa terbesar di dunia, ekspor komoditas ini lebih banyak berupa
kelapa bulat. Salah satu sentra utama penghasil kelapa di Indonesiaadalah
Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau. Sayang, para petani di Bengkalis lebih
senang menjual kelapa bulat ke Malaysia. Di Negeri Jiran, kelapa-kelapa bulat
tersebut ditingkatkan nila tambahnya. Semua bagiannya diolah menjadi produk
turunan, mulai dari sabuk, tempurung, hingga dagingnya.
Mengapa para petani kelapa di Bengkalis lebih senang menjual
kelapa bulatnya ke-Malaysia? Alasannya sederhana karena lebih mudah dan
menguntungkan secara ekonomi. Untuk apa berlelah-lelah menjualnya ke Pekanbaru
bila jalan yang menghubungkan antara Bengkalis dengan ibu kota provinsi harus
ditempuh selama 6-7 jam karena kualitas jalan yang bobrok. Padahal, jarak
tempuhnya tak seberapa.
Ini semua tentu adalah potensi yang hilang (potential lost).
Alangkah hebatnya bila komoditas-komoditas pertanian yang dihasilkan oleh para
petani kita ditingkatkan nilai tambahnya, dan dikembangkan industri produk
turunannya (agrobisnis). Betapa banyak lapangan kerja yang tercipta dan betapa
besar dampak pengganda ekonomi yang terjadi.
Pemerintah mestinya sadar kalau salah satu kekuatan besar
negeri iniuntuk eksis di pentas dunia adalah sektor pertanian. Dan bila
hendak menjadi negara industri, kembangkanlah industri yang berbasis produk
pertanian yang melimpah (agro industri), bukan industri subtitusi impor. (*)
Komentar
Posting Komentar