5 Mei 2015. Pagi itu, di hadapan para wartawan yang sudah
tak sabar menunggu angka pertumbuhan ekonomi nasional diumumkan, wajah kepala
Badan Pusat Statistik (BPS) menyiratkan air muka yang sedikit tegang.
Sepertinya, ada kabar buruk yang hendak ia sampaikan.
Benar saja, rilis angka pertumbuhan ekonomi nasional hari
itu cukup mencengangkan. Betapa tidak,
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan I 2015 hanya tumbuh
sebesar 4,7 persen. Itu artinya, meminjam istilah para ekonom, ekonomi nasional
tengah mengalami perlambatan (slowingdown).
Bukan pula sembarang perlambatan. Pasalnya, angka tersebut merupakan
pertumbuhan terendah sejak tahun 2009.
Hanya beberapa saat setelah kabar buruk tersebut tersebar
melalui media dalam jaringan, pasar uang langsung bereaksi. Hari itu juga, nila
tukar rupiah langsung tertekan di atas Rp13.000/USD. Konon, hal ini menjadikan
rupiah sebagai mata uang dengan performa terburuk.
Kabar perlambatan ekonomi yang dirilis BPS pagi itu ternyata
berbuntut panjang, dan tidak hanya menghantam pasar uang. Tak terelakkan, beberapa
hari kemudian, sentimen negatif terhadap perlambatan ekonomi juga menggerogoti
lantai bursa. Akibatnya, banyak investor hengkang dari pasar saham, dan
kepercayaan investor asing pun menjadi luruh.
Di ranah politik, rilis angka pertumbuhan ekonomi nasional
yang diumumkan kepala BPS pagi itu bukan hanya sekadar kabar perlambatan
ekonomi. Secara politik, kemampuan pemerintah dalam mengelola perekonomian
nasional dipertanyakan. Gelombang kritik dari pihak oposisi pun tak bisa
dihindari.
Isu perombakan kabinet (reshuffle)
yang sebelumnya sudah mengemuka juga bertiup makin kencang. Apalagi, selain pertumbuhan ekonomi, hari itu BPS juga
merilis indikator-indikator ekonomi lain yang juga memberi catatan buruk
terhadap kinerja menteri-menteri di bidang ekonomi.
BPS melaporkan, jumlah penganggur pada Februari 2015
melonjak sebanyak 300 ribu orang dibanding kondisi pada bulan yang sama tahun
lalu. Sementara itu, indeks tendensi bisnis pada triwulan I 2015 hanya sebesar
96,3 yang memberi konfirmasi bahwa para pelaku bisnis merasa pesimis dengan
kondisis ekonomi nasional pada triwulan I 2015.
Dampak yang ditimbulkan rilis angka pertumbuhan ekonomi yang
diumumkan BPS pagi itu sejatinya memberi konfirmasi bahwa kini, statistik resmi
(official statistics) bukan lagi
sekadar digit-digit angka. Di ere digital
economy dewasa ini, di saat kinerja diukur dan dievaluasi berdasarkan
ukuran-ukuran kuantitatif, statistik resmi yang dirilis BPS tidak hanya
memiliki dampak luas secara ekonomi, tapi juga politik.
Karena itu, ada sebuah tanggung jawab besar di pundak para
statistisi (petugas statistik pemerintah), yakni bagaimana menghasilkan
data-data statistik yang akurat dan menggambarkan realitas yang sebenarnya terjadi
di lapangan (obyektif).
Ada banyak contoh untuk menunjukkan betapa mahalnya ongkos
yang harus dibayar jika suatu keputusan didasarkan pada statistik yang tidak
akurat. Di Negeri Abang Sam, misalnya, kesalahan pencatatan inflasi yang dilakukan
oleh Biro Statistik Amerika Serikat pada
1996 dan periode sebelum 1996 diperkiran telah menyumbang peningkatan defisit
anggaran sebesar US$ 148 miliar dan juga utang pemerintah sebesar US$ 691
miliar (Toward a More Accurate Measure of
The Cost Living, 1996).
Statistik yang tidak akurat juga bakal memberi gambaran yang
keliru mengenai arah pembangunan ekonomi nasional. Kita bisa saja menyangka
tengah bergerak ke arah kemajuan. Padahal faktanya, hal tersebut hanyalah ilusi
yang disajikan oleh angka-angka statistik. Sebaliknya, kita justru tengah
mengalami stagnasi atau bergerak ke arah yang salah dan berlawanan.
Peran strategis data-data statistik dewasa ini juga memberi
konfirmasi bahwa statistik resmi yang dirilis BPS harus obyektif. Pasalnya,
statistik tersebut ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi
dasar bagi pemerintah untuk mengklaim keberhasilannya dalam menjalankan roda
pembangunan. Namun di sisi lain, seperti angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis
BPS pagi itu, ia juga dapat menjadi senjata ampuh pihak oposisi untuk
mengkritisi dan menyerang kinerja pemerintah.
Karena itu, statistik resmi yang dirilis BPS harus dihasilkan
melalui proses yang independen, bebas kepentingan, dan tidak memihak
(imparsial). Dengan kata lain, BPS sedikit pun tak boleh diintervensi, dan
harus diberi ruang untuk melakukan itu. (*)
Salam statistik
Komentar
Posting Komentar