"There are three kinds of lies:
lie, dammed lie and statistics."---Disraeli
Suatu ketika, seorang pejabat, yang
mengurusi data pertanian negeri ini, diundang melakukan panen raya kedelai oleh
pemerintah provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera. Konon, kedelai yang
hendak dipanen adalah proyek percontohan. Produktivitasnya bukan main, ditaksir
mencapai 3 ton per hektar. Padahal, rata-rata produktivitas kedelai nasional
saat ini hanya sekitar 1,5 ton per hektar. Di negeri Abang Sam pun, yang
merupakan produsen kedelai terbesar di dunia, rata-rata produktivitas kedelai
hanya sekitar 2,6 ton per hektar.
Jika benar adanya, sungguh outstanding.
Produktivitas kedelai sebesar 3 ton per hektar bukannya tidak masuk akal. Tapi,
itu hanya bisa dicapai jika budidaya tanaman kedelai dilukakan di laboratorium
dan dikontrol dengan segala macam treatment, bukan di lahan milik petani.
Saat panen raya pun tiba, sang pejabat
sudah siap dengan arit dan topi capingnya. Namun, ia begitu terkejut ketika
hendak menggorok batang tanaman kedelai yang telah disiapkan untuknya. Betapa
tidak, belum sempat digorok, tanaman tersebut dengan mudahnya sudah tercabut
dari tanah. Jadilah panen kedelai hari itu tak ubahnya panen kacang
tanah—dengan cara dicabut. Dan bisa ditebak, kedelai yang dipanen hari itu baru
“semalam” ditanam. Sang pejabat hanya tersenyum atas apa yang ia alami hari
itu. Entah karena ia, yang jauh-jauh datang dari Jakarta, merasa lucu atau
merasa dikibuli.
Sedihnya, kejadian tersebut tidak
terjadi di zaman Orde Baru (Orba) ketika hamparan tanaman karet yang sudah siap
disadap bisa tumbuh dalam semalam, ketika segala sesuatu bisa dikemas dan
diramu sedemikian rupa hanya untuk sekedar membikin senang penguasa, tapi di
zaman sekarang ini ketika kejujuran, transparansi, dan pemerintahan yang bersih
menjadi jargon dan begitu dieluk-elukkan.
Target ambisius
Pemerintah saat ini telah menetapkan
kedaulatan pangan sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan nasional.
Artinya, negeri ini harus mampu memenuhi kebutuhan pangannya, dan pemenuhan
tersebut harus dari produksi dalam negeri, bukan dari impor. Pendek kata,
negeri ini harus swasembada dalam hal pangan.
Untuk mewujudkan hal tersebut,
pemerintah melaksanakan sejumlah program yang bertujuan meningkatkan produksi
tanaman pangan, khususnya padi, jagung, dan kedelai. Pada tahun ini, misalnya,
ada program Upaya Khusus (UPSUS), yang melibatkan TNI untuk menggenjot produksi
padi, jagung, dan kedelai. Sasaran program yang menghabiskan anggaran Rp15
triliun itu secara umum adalah peningkatan areal tanam dan kenaikan
produktivitas.
Target peningkatan produksi yang
dipatok, boleh dibilang, juga cukup ambisius. Produksi padi, misalnya,
ditargetkan mencapai 75 ton gabah kering giling pada 2015. Padahal, produksi
padi nasional pada tahun lalu ditaksir hanya sebesar 70,8 juta ton GKG. Itu
artinya, target tersebut hanya bisa direngkuh jika kenaikan produksi padi
sepanjang 2014-2015 mencapai 5 juta ton GKG atau sekitar 7 persen. Berdasarkan
data historis yang ada selama ini, target kenaikan produksi sebesar itu sangat
berat serta membutuhkan upaya dan kerja keras yang maha berat.
UPSUS, yang katanya dilakukan secara
masif dan melibatkan aparat TNI itu, memang memberi harapan sebagai pengungkit
peningkatan produksi dalam skala besar. Tapi, tidak ada jaminan bahwa program
yang menghabiskan belasan triliun rupiah itu bakal berhasil mengantarkan
pemerintah merengkuh target pencapaian produksi. Salah satu kendala klasik
adalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sejak
diberlakukannya otonomi daerah pada 2001 lalu. Dampaknya, program-program yang
diinisiasi oleh pemerintah pusat acap kali tidak maksimal dan gagal mencapai
target.
Pemerintah pusat boleh saja memiliki
rencana program yang spektakuler, tapi selama program tersebut tidak didukang
secara penuh oleh pemerintah daerah sebagai eksekutor, program bisa gagal
mencapai target dan hasilnya mengecewakan.
Muslihat angka
Berhasil atau tidaknya pemerintah dalam
mencapai terget peningkatan produksi yang telah ditetapkan pada akhirnya bakal
ditentukan oleh data statistik yang dirilis BPS. Repotnya, tidak semua pihak
siap dan mau menerima dengan lapang hati “kenyataan pahit” yang disodorkan oleh
angka-angka statistik. Apalagi jika usaha yang dikerahkan sudah luar biasa,
berdarah-darah, dan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.
Di sinilah posisi sulit seorang
statistisi (petugas statistik pemerintah), ketika angka statistik yang
dihasilkannya merupakan alat evaluasi sebuah program pemerintah yang
menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Bila idealisme tipis, yang terjadi
bisa jadi adalah “muslihat angka”. Data bukan lagi hasil obyektivitas
statistik, tapi sesuai pesanan pihak yang berkepentingan.
Tentu hal tersebut tak boleh terjadi.
Independensi dan obyektivitas statistik harus ditegakkan. Statistik,
sebagaimana adanya, adalah alat evaluasi bukan alat “justifikasi”. Peduli setan
bila kenyataan yang disodorkan oleh data statistik menyangkut kinerja suatu
kementerian, soal program yang telah menghabiskan belasan triliun anggaran
negara, dan soal nasib sejumlah pejabat mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Karena semua itu bukan urusan statistik.
Yang harus dipastikan adalah pengumpulan
data sudah dilakukan secara benar dan sesuai dengan kaidah ilmu statistik.
Kalau itu sudah dilakukan, biarlah statistik berbicara secara obyektif dan apa
adanya. Karena tugas statistisi sejatinya hanyalah memotret secara benar apa
yang terjadi di lapangan. (*)
Komentar
Posting Komentar