Majalah Forbes baru saja merilis daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Bukan main, kekayaan mereka mencapai 95 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.107 triliun (VIVANews, 21 November 2013). Luar biasa. Di tengah masih tingginya angka kemiskinan di negeri ini, ternyata kita memiliki banyak orang kaya dengan nilai kekayaan yang sangat fantastis.
Kita boleh berbangga. Namun demikian, fakta ini sebetulnya juga menunjukkan persoalan pelik yang tengah dihadapi bangsa ini selain persoalan kemiskinan, yakni ketimpangan distribusi pendapatan yang dari hari ke hari kian melebar.
Nilai kekayaan 50 orang terkaya ini sejatinya merupakan petunjuk atau indikasi bahwa jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin kian menganga. Betapa tidak, nilai kekayaan sebesar Rp1.107 triliun itu setara dengan 13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun lalu. Padahal kita tahu, jumlah penduduk negeri ini bukan main banyaknya, mencapai 250 juta jiwa. Lima puluh orang tentu merupakan fraksi yang sangat kecil dari 250 juta penduduk.
Sekedar untuk diketahui, persentase nilai kekayaan 50 orang terkaya negeri ini terhadap PDB pada tahun 2010 sekitar 10 persen. Itu artinya, laju pertambahan nilai kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini cukup fantastis dalam dua tahun terakhir. Dan, di tengah penurunan kemiskinan yang seolah jalan di tempat, besar kemungkinan hal ini merupakan pertanda bahwa ketimpangan pendapatan semakin parah.
Boleh jadi, nominal PDB dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini begitu kita banggakan sejatinya tidak berkualitas. Karena tidak memberikan dampak yang berarti terhadap peningkatan kesejahteraan sebagian besar masyarakat, lebih-lebih kelompok miskin.
Sebetulnya, indikator yang lebih sahih untuk menggambarkan ketimpangan pendapatan adalah rasio gini. Seperti halnya indikasi yang ditunjukkan oleh perkembangan persentase nilai kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini, perkembangan angka rasio gini juga mengkonfirmasi bahwa ketimpangan pendapatan kian mengkhawatirkan.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2013, rasio gini telah mencapai 0,41 poin. Itu artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium. Angka ini menunjukkan bahwa 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati sekitar 17 persen pendapatan yang tercipta dalam perekonomian, sementara pada saat yang sama 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi justru menikmati sekitar 50 persen atau separuh dari pendapatan yang tercipta dalam perekonomian.
Itupun dengan catatan, angka rasio gini yang dihitung BPS ditengarai underestimate (di bawah nilai yang sebenarnya), karena dihitung berdasarkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga. Idealnya, gini rasio—karena menggambarkan distribusi pendapatan—dihitung berdasarkan data pendapatan. Jika ini dilakukan, angka rasio gini yang dihasilkan kemungkinan besar bakal lebih tinggi, yang menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan bukan lagi pada skala medium, tapi pada skala yang sudah kronis (tinggi).
Ketimpangan pendapatan adalah masalah serius karena pada titik tertentu dapat memicu gejolak sosial. Untuk itu, pemerintah sudah semestinya serius pula dalam memandang persoalan ini. Saya yakin, kita akan lebih berbangga kala puluhan juta penduduk miskin negeri ini berhasil keluar dari belenggu kemiskinan, ketimbang dengan soal nilai kekayaan segelintir penduduk negeri ini yang terus tumbuh melejit. (*)
Komentar
Posting Komentar