Bertempat di aula sebuah hotel bintang empat di kawasan Jakarta Pusat, siang itu, Pak Marsad tampak canggung. Maklum, petani asal Bojong Gede, Kabupaten Bogor, itu sedang dikelilingi belasan peserta pelatihan Instruktur Nasional Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) untuk diwawancarai.
Baju batiknya yang sedikit berkelas tak mampu menyembunyikan penampilannya yang sangat bersahaja. Urat-urat tangannya nampak jelas, timbul dengan begitu mencolok, berpadu-padan dengan kulitnya yang hitam legam. Dari tampilan fisiknya, siapa pun bisa menerka, Pak Marsad adalah seorang pekerja keras (baca: kasar).
Siang itu, para instruktur sedang mempraktekkan cara mewawancarai sumber informasi atau responden dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) yang nantinya bakal diajarkan ke petugas lapangan. Dan, Pak Marsad adalah respondennya.
Saat wawancara, dengan aksen Betawi-nya yang kental, ia menyebutkan satu per satu profil anggota rumah tangganya (termasuk dirinya). Sungguh miris, Pak Marsad yang berumur 53 tahun itu ternyata tak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tak bisa baca tulis. Tatkala diminta membubuhkan tanda tangan pada kuesioner yang digunakan untuk wawancara, dengan lugu ia berucap, “Saya kagak bisa tanda tangan.”
Isterinya, yang sehari-hari membantunya bertani (pekerja keluarga tak dibayar) pun serupa. Wanita yang juga berumur lima puluhan tahun itu tak tamat SD.
Yang sedikit lebih baik dalam capaian pendidikan di rumah tangga Pak Marsad adalah anak perempuannya yang menamatkan pendidikan Tsanawiyah atau setingkat Sekolah Menengah Pertama. Anak perempuan satu-satunya itu lebih memilih bekerja sebagai karyawan di sektor informal (penjaga toko) ketimbang membantu ayahnya bertani. Kata Pak Marsad, “Dia mahh ogah kalau diajak bertani.”
Dari hasil wawancara selama dua jam lebih juga diperoleh informasi bahwa lahan yang dikuasai oleh rumah tangga Pak Marsad untuk bertani hanya sekitar 0,3 hektare. Itu artinya, ia adalah petani gurem (kecil). Lahan yang ia miliki pun tanpa disertai bukti kepemilikan.
Dalam setahun yang lalu, pendapatan bersihnya dari bertani (menanam sayuran dan memelihara ternak) hanya sekitar 27 juta rupiah. Kerenanya, untuk mencukupi kebutuan keluarganya, selain bertani, Pak Marsad juga bekerja sebagai buruh bangunan.
Boleh dibilang, rumah tangga Pak Marsad betul-betul mewakili gambaran umum petani kita: mengusahakan lahan pertanian yang sempit, berpendidikan rendah, berumur tua (generasi muda negeri ini sudah ogah menjadi petani), dan miskin (berpendapatan rendah).
Pendapatan petani
Pada November nanti, Badan Pusat Statistik (BPS) akan melaksanakan Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP-2013). Survei ini merupakan kelanjutan dari Sensus Pertanian yang dilaksanakan pada Mei lalu (ST-2013), yang akan dilakukan secara masif di seluruh wilayah Republik Indonesia selama satu bulan. Dari 26,13 juta rumah tangga pertanian hasil ST-2013, dipilih sebanyak 418.060 rumah tangga sampel untuk diwawancarai.
SPP-2013 ditujukan untuk memotret—sumber dan struktur—pendatapatan rumah tangga usaha pertanian, baik yang bersumber dari usaha di sektor pertanian maupun pendapatan lainnya yang bersumber dari usaha di luar sektor pertanian, upah/gaji di sektor pertanian dan non-pertanian, usaha non-rumah tangga, dan transfer.
Selain pendapatan rumah tangga, dari SPP-2013 juga bakal diperoleh informasi mengenai: penguasaan, alih fungsi (konversi), dan mutasi lahan di rumah tangga pertanian serta kedaaan sosial ekonomi dan ketahanan pangan rumah tangga. Informasi –informasi ini sangat berguna lagi berharga bagi para analis dan peneliti serta perumus dan pengambil kebijakan di sektor pertanian.
Kerena itu, kerjasama dari berbagai pihak yang bersinggungan dengan pelaksanaan survei sangat dibutuhkan, terutama petani sebagai pemberi informasi. Sehingga, data yang diperoleh benar-benar akurat dan menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. (*)
Komentar
Posting Komentar