Awal bulan ini (2
September) Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka sementara
hasil Sensus Pertanian yang dilaksanakan sepanjang bulan Mei 2013
(ST2013).
Hasil ST2013 menyebutkan, jumlah rumah tangga
usaha pertanian saat ini sebanyak 26,13 juta rumah tangga atau menurun
sebanyak 5,04 juta rumah tangga bila dibandingkan dengan hasil sensus
pertanian pada tahun 2003.
Perlu diketahui, pengertian rumah tangga
usaha pertanian adalah rumah tangga yang minimal salah satu anggotanya
mengusahakan kegiatan pertanian. Cakupan kegiatan pertanian meliputi
enam subsektor, yakni tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultiura,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Motif usaha yang dijalankan tidak melulu
harus ditujukan untuk memperoleh keuntungan finansial. Tapi boleh jadi
hanya untuk pemenuhan pangan keluarga, atau kerap disebut usaha
pertanian subsisten seperti yang lazim dijumpai pada subsektor tanaman
pangan.
Meski belum selasai dihitung oleh BPS, bisa
dipastikan bahwa sebagian besar rumah tangga usaha pertanian yang ada
saat ini mengusahakan tanaman padi dan palawija. Ditaksir jumlahnya bisa
mencapai 70-75 persen dari total rumah tangga pertanian.
Karena dalam setiap rumah tangga pertanian
terdapat minimal salah satu anggota yang mengelola kegiatan usaha
pertanian atau “petani”, angka penurunan sebesar 5,04 juta rumah tangga
sebagaimana telah disebut sebelumnya bisa dimaknai bahwa minimal ada 5
juta petani yang telah meninggalkan sektor pertanian dalam sepuluh tahun
terakhir. Penyebabnya macam-macam, bisa karena meninggal dunia atau
beralih ke sektor lain yang lebih menjanjikan kesejahteraan.
Daya dukung menurun
Sebagaimana diketahui, untuk negara yang perekonomiannya sedang berkembang (developing countries)
seperti Indonesia, transformasi struktur ekonomi dalam jangka panjang
adalah sebuah keniscayaan. Prosesnya selalu ditandai dengan terus
mengecilnya peran sektor pertanian secara gradual dalam perekonomian.
Dan pada saat yang sama, peran sektor industri dan jasa perlahan kian
mendominasi.
Lenyapnya sekitar 5 juta petani dalam sepuluh
tahun terakhir boleh jadi merupakan bagian dari proses transformasi
struktur ekonomi ini. Sesuatu yang sebetulnya lazim dan tak perlu
dirisaukan. Toh, dengan kemajuan teknologi budidaya, produktivitas dan
produksi pertanian dapat ditingkatkan berlipat-lipat tanpa harus
menambah pekerja (petani), bahkan produksi bisa tetap ditingkatkan meski
jumlah petani terus berkurang.
Tapi, apakah benar seperti itu? Sayangnya,
data-data pendukung lainnya menunjukkan sebaliknya. Lenyapnya 5 juta
petani dalam satu dasawarsa terakhir merupakan sebuah sinyal buruk yang
patut dirisaukan.
Mutasi para pekerja di sektor pertanian dalam
jumlah besar sebetulnya sudah terpotret melalui Survei Angkatan Kerja
Nasional yang dilaksanakan secara rutin dua kali dalam setahun pada
Februari dan Agustus (setiap semester) oleh BPS. Dalam beberapa tahun
terakhir, jumlahnya diperkirakan mencapai 200 ribu orang tiap tahun.
Mengapa sektor pertanian kian ditinggalkan? Jawabannya, sektor ini tak lagi menjanjikan kesejahteraan. Untuk
apa bertani bila tak bisa menopang hidup dan begitu sulit merengkuh
kesejahteraan. Untuk apa bertani bila harga pupuk dan benih tak lagi
terjangkau, jaringan irigasi rusak, lahan kian sempit, dan harga jual
komoditas pertanian justru membunuh hasrat untuk bertani.
Statistik menunjukkan, penurunan jumlah
pekerja di sektor pertanian selama ini justru dibarengi dengan derasnya
laju konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian. Setiap tahun,
puluhan ribu hektare (bahkan ada data yang menyebutkan hingga 100 ribu
hektare) lahan sawah di negeri ini lenyap dan beralih fungsi menjadi
pemukiman, kawasan industri/pabrik, real estate, bahkan lapangan golf.
Salah satu kontributor konversi lahan yang
mengkhawatirkan ini adalah petani sendiri yang dengan sengaja melepas
kepemilikan lahannya karena sudah enggan bertani. Mereka lebih memilih
untuk menjual lahan yang dimiliki lalu hasilnya digunakan sebagai modal
untuk merantau ke kota dan menggeluti usaha di sektor informal.
Itulah sebab, informalisasi ekonomi terus
terjadi. Meski tingkat pengangguran relatif rendah, yakni di bawah 10
persen, kenyataannya sekitar 60 persen pekerja tumpah ruah di sektor
informal.
Yang semakin membuat risau adalah kenyataan
bahwa sebagian besar petani kita saat ini memiliki kapabiltas—utamanya
tingkat pendidikan—yang rendah. Statistik menunjukkan, sekitar 80 persen
petani kita hanya menamatkan pendidikan paling tinggi setingkat sekolah
dasar (SD) (Sensus Pertanian, 2003).
Padahal, tingkat pendidikan petani memiliki
pengaruh yang signfikan terhadap keberhasilan berbagai program
pemerintah—utamanya inovasi teknologi pertanian—untuk meningkatkan
produktivitas dan produksi pertanian.
Ditambah lagi, para generasi muda negeri ini
kian enggan untuk menjadi petani. Secara faktual, sebagian besar petani
kita berada pada kelompok umur tua, yakni di atas 50 tahun.
Karena itu, lenyapnya sekitar 5 juta petani
sebagaimana terpotret melalui hasil ST2013 sejatinya merupakan sinyal
buruk. Pemerintah harus peka terhadap hal ini. Bahwa daya dukung sektor
pertanian terus menurun.
Bisa dibayangkan, apa jadinya bila sektor
yang merupakan penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan sekitar 250
juta penduduk negeri ini—yang jumlahnya terus bertumbuh—kian
ditinggalkan oleh para pekerjanya. Sementara pada saat yang sama, luas
lahan pertanian terus menyusut dan kualitas petani kian jauh dari
mumpuni. Tentu sebuah ancaman serius bagi ketahanan dan kemandirian
pangan negeri ini di masa mendatang. (*)
Komentar
Posting Komentar