Pemilihan presiden
(pilpres) masih setahun lagi. Namun, geliatnya kian terasa. Para calon
yang bakal bertarung di medan laga satu per satu mulai unjuk gigi.
Ihwal suksesi kepemimpinan di
negeri ini, selama ini ada mitos—dalam tradisi Jawa—bahwa kemakmuran,
kesejahteraan, dan kejayaan Indonesia bakal direngkuh jika negeri ini
dipimpin oleh seorang presiden yang namanya diakhiri dengan suku kata “go”, yang diambil dari frasa dalam bahasa Jawa: “notonogoro”. Konon, mitos ini didasarkan pada ramalan Prabu Jayabaya, raja Kediri yang memerintah pada 400-an Masehi.
Sayangnya, di tengah geliat
menuju pilpres 2014, tak satupun calon presiden yang namanya menyeruak
di ruang publik belakangan ini kompatibel dengan ramalan Sang Prabu.
Apakah ini merupakan alamat bahwa pilpres 2014 bakal gagal menelorkan
pemimpin yang dapat menghantarkan negeri ini merengkuh kemakmuran,
kesejahteraan, dan kejayaan—setidaknya dalam lima tahun mendatang?
Kilas kejayaan
Kejayaan Nusantara (Indonesia) di masa lampau adalah fakta sejarah yang tak bisa ditampik. Dalam bukunya berjudul Trade and The Problems of Royal Power in Aceh, sejarawan Australia, Anthony Reid, misalnya, menggambarkan betapa makmurnya Aceh pada abad 16.
Sebagai berkah dari penguasaan
jalur perdagangan di Selat Malaka hingga Laut Merah, para saudagar Aceh
pada masa itu bergelimang harta laksana saudagar-saudagar Eropa. Saking
tingginya kemakmuran itu, sampai-sampai rumah mereka dihiasi meriam di
depan pintunya.
Pada masa itu pula, kemakmuran
yang tinggi tak hanya terjadi di Aceh, tapi juga dapat dijumpai di
pusat-pusat perdagangan Nusantara lainnya, seperti Kawasan Indonesia
Timur, pesisir timur Sumatera, dan pantai utara Jawa.
Jejak kejayaan Nusantara terus
berlanjut hingga abad 18. Hasil kajian yang dilakukan ahli sejarah
ekonomi, Paul Bairoch, menunjukkan bahwa sekitar 200 tahun yang lalu,
tingkat kesejahteraan penduduk Nusantara tak jauh berbeda dengan
penduduk negara-negara Eropa Barat. Dengan menggunakan standar dolar AS
dan basis harga-harga (paritas daya beli) tahun 1960, Bairoch menemukan
bahwa pada tahun 1800 pendapatan per kapita negara-negara Eropa Barat
sebesar USD213, berselisih tipis dengan pendapatan per kapita Nusantara
yang juga berada pada kisaran USD200 (Economics and World History: Myths and Paradoxes, 1993).
Kabar baiknya, tak perlu menunggu lama, kilas kejayaan masa lalu itu nampaknya bakal kembali terulang. Dan tentu saja, dengan capaian yang lebih mengkilap. Ini bukan impian kosong, tapi terkonfirmasi oleh data-data yang ada.
Sebagai contoh, dalam publikasinya pada September 2012 yang bertajuk The Archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential,
Mckinsey Global Institute memuat proyeksi mengenai masa depan ekonomi
Indonesia yang bakal membuat kita terpana. Betapa tidak, negara ini
digadang-gadang bakal menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-7 di dunia
pada 2030. Pendek kata, Indonesia bakal menjadi negara maju.
Sudah barang tentu, ini hanya
bisa terwujud jika sejumlah prasarat terpenuhi: liniearitas pertumbuhan
ekonomi harus dijaga (minimal pada angka 7 persen per tahun),
pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga harus inklusif (disertai
pemerataan), serta berbagai kendala menyangkut infrastruktur dan
sumberdaya untuk memacu pertumbuhan harus dibereskan.
Dalam soal merengkuh kejayaan,
yang juga tak kalah menerbitkan asa adalah fakta bahwa sejak 2009 negeri
ini tengah menikmati apa yang disebut sebagai bonus demografi (demographic dividend). Sebuah fenomena kependudukan yang amat jarang terjadi, yang ditandai dengan menurunnya rasio ketergantungan (dependency ratio) atau nisbah penduduk usia tak produktif terhadap penduduk usia produktif.
Situasi kependudukan yang sangat
menguntungkan ini bakal terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada
tahun 2020. Ketika itu, rasio ketergantungan mencapai 45 persen.
Artinya, setiap 45 orang penduduk usia tak produktif menjadi tanggungan
100 penduduk usia produktif (Bank Dunia, 2009).
Jika dibarengi dengan linieritas
pertumbuhan ekonomi yang terus dijaga, penyiapan lapangan kerja
berkualitas bagi penduduk usia produktif, serta tingkat kapabilitas
(tingkat pendidikan dan kesehatan) penduduk usia produktif yang juga
mumpuni, negeri ini dapat dipastikan bakal menuai berkah dari bonus
demografi. Kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan bakal dalam
genggaman. Bayangkan, betapa makmur dan sejahteranya sebuah keluarga
yang terdiri dari lima orang di mana hanya dua orang di antaranya yang
menjadi beban tanggungan (tak bekerja). Dan, pada saat yang sama
pendapatan per kapita—katakanlah—di atas USD7.000 per tahun.
Jendela waktu bonus demografi
berlangsung singkat. Pada 2030, rasio ketergantungan akan kembali
bergerak naik sebagai akibat bertambahnya penduduk usia tak produktif
dan pada saat bersamaan proporsi penduduk produktif mulai menurun.
Karena itu, tahun-tahun mendatang merupakan saat-saat kritis untuk
Indonesia. Setiap detik yang kita lalui amat berharga.
Bonus demografi yang tengah
dinikmati merupakan momentum dan peluang emas bagi Indonesia untuk
mengulang kilas kejayaan masa lalu, serta mengejar ketertinggalan bahkan
mensejajarkan diri dengan negara-negara maju. Sungguh teramat sayang
jika momentum dan peluang emas ini gagal dimanfaatkan.
Pilpres 2014
Ihwal pilpres 2014, tahun ini
adalah tahun pencarian. Sudah saatnya calon-calon presiden berkualitas
dimunculkan di ruang publik—oleh partai politik dan media—untuk dinilai
dan ditimbang kapabilitasnya. Pada 2014 nanti negeri ini sangat
membutuhkan kepemimpinan yang mampu merealisasikan proyeksi McKinsey
Global Institute menjadi kenyataan, bukan sekedar harapan di atas
kertas; kepemimpinan yang mampu mengkonversi peluang bonus demografi
menjadi kesejahteraan dan kemakmuran; serta kepemimpinan yang mampu
muwujudkan ramalan Jayabaya menjadi kenyataan meski oleh presiden yang
namanya tak diakhiri dengan suku kata “go”.
Sebagaimana dituliskan oleh Anne Booth dalam bukunya yang terbit pada 1998 berjudul The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunities, negeri ini sudah terlalu sering menyianyiakan kesempatan sehingga berpotensi untuk masuk ke—apa yang disebut oleh para ekonom sebagai—perangkap pendapatan menengah (middle income trap).
Tulisan ini hanya sekedar
mengingatkan bahwa lima tahun mendatang adalah waktu yang sangat
berharga, teramat sayang jika berbagai momentum dan peluang yang ada
berlalu begitu saja karena kesalahan bangsa ini dalam memilih pemimpin.
(*)
Komentar
Posting Komentar