Kisruh
kedelai kian runyam. Ihwal kenaikan harga kedelai yang telah menembus
Rp9.600 per kilogram, para perajin tahu-tempe kembali mengancam bakal
melakukan mogok produksi selama tiga hari pada 9-11 September 2013 (Kompas, 3 September 2013). Aksi serupa pernah dilakukan pada 25-27 Juli tahun lalu.
Diketahui, sekitar 70
persen dari kebutuhan kedelai nasional yang mencapai 2,2 juta ton per
tahun (1,6 juta ton untuk industri tahu-tempe) harus diimpor karena
produksi dalam negeri jauh dari mencukupi: hanya sekitar 800 ribu ton biji kering per tahun. Karena itu, harga kedelai di Tanah Air amat dipengaruhi harga kedelai impor.
Tahun lalu, harga kedelai melonjak akibat kekeringan yang melanda Amerika Serikat, pemasok utama kedelai untuk Indonesia.
Sedangkan tahun ini, lonjakan harga disebabkan oleh penguatan dolar
Amerika terhadap rupiah yang mengerek harga komoditas impor, termasuk
kedelai.
Jadi, satu-satunya solusi agar kisruh kedelai tak terus berulang adalah memutus ketergantungan impor. Negeri ini harus swasembada.
Mimpi swasembada
Sebagaimana
diketahui, swasembada kedelai ditargetkan bakal dicapai pada 2014. Ini
merupakan salah satu target ambisius yang telah ditetapkan pemerintah
dalam bidang pangan.
Sayangnya,
berdasarkan data yang ada, pencapaiaan target ini dapat dipastikan jauh
panggang dari api alias gagal diwujudkan. Sesuai skenario pemerintah,
swasembada bakal direngkuh bila produksi kedelai tahun ini mencapai 1,5 juta ton dan meningkat menjadi 2,7 juta ton pada 2014. Bila mengacu pada laporan
BPS yang dirilis Juli lalu, skenario ini mustahil dicapai. Pasalnya,
BPS memperkirakan produksi kedelai tahun ini hanya sebesar 847 ribu ton.
Dalam
soal swasembada kedelai, negeri ini sebetulnya pernah merasakannya pada
kurun 1969-1978. Kala itu, surplus ekspor-impor kedelai rata-rata
mencapai 8.800 ton per tahun. Jadi, swasembada kedelai sejatinya
bukanlah hal yang terlalu sulit untuk diwujudkan.
Pada dekade tahun 1990, produksi kedelai bahkan rata-rata
masih mencapai 1,5 juta ton per tahun. BPS mencatat—meskipun terus
menurun secara konsisten—tren produksi di atas satu juta ton terus
bertahan hingga tahun 2000. Produksi kedelai dalam negeri betul-betul
anjlok (rata-rata hanya 700-800 ribu ton per tahun) sejak tahun 2001
karena terus menyusutnya luas areal tanam untuk budidaya dan peningkatan
produktivitas yang cenderung lamban.
Statistik menunjukkan, dalam dua dasawarsa terakhir laju penurunan luas panen kedelai rata-rata mencapai 4,5 persen per tahun. Sekedar merinci, pada 1993, luas panen kedelai masih seluas 1,5 juta hektar, sementara pada 2013 telah menyusut hingga hanya mencapai 0,6 juta hektar.
Peningkatan
produktivitas juga berjalan lamban. Pada 1993, produksi per hektar
tanaman kedelai mencapai 1,16 ton, dan hanya meningkat menjadi 1,48 ton
pada 2013. Itu artinya, dalam dua puluh tahun terakhir, produktivitas
hanya tumbuh rata-rata sekitar 1,2 persen per tahun.
Bagi
petani kita, kedelai bukanlah tanaman utama dan prioritas.
Keberadaannya hanyalah sebagai tanaman “sela” di antara musim tanam
padi. Dalam praktik budidaya tanaman padi dan palawija selama ini,
kedelai umumnya ditanam oleh petani di lahan sawah bersama-sama dengan
jagung pada periode September—Desember ketika suplai air mulai berkurang.
Karena ditanam pada lahan dan periode yang sama, “kompetisi” antara jagung dan kedelai tak bisa dihindarkan. Data statistik menunjukkan, selama ini selalu ada situasi tukar (trade off) antara luas tanam kedelai dan luas tanam jagung. Kenaikan luas tanam jagung selalu akan dibarengi dengan penurunan luas tanam kedelai, begitupula sebaliknya.
Sayangnya, dalam kompetisi ini kedelai hampir selalu kalah, karena bagi petani menanam jagung jauh lebih menguntungkan (profitable). Pendapatan yang diperoleh petani dari menanam jagung jauh lebih tinggi dibandingkan menanam kedelai.
Hasil
Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan yang dilaksanakan BPS
pada 2011 menunjukkan, biaya yang dibutuhkan untuk usaha budidaya
kedelai rata-rata mencapai 9,8 juta rupiah per hektar, tak jauh berbeda
dengan biaya yang dibutuhkan untuk usaha budidaya jagung yang mencapai
10 juta rupiah per hektar. Padahal selama ini, harga
jagung di pasaran jauh lebih kompetitif dan menggiurkan ketimbang
kedelai. Karena itu, penetapan harga patokan pembelian kedelai sejak
Juli 2013 lalu perlu diapresiasi. Langkah ini bakal merangsang minat petani untuk membudidayakan kedelai.
Selain
soal harga, kedelai kian kalah dari jagung karena produktivitas tanaman
ini jauh lebih rendah. Telah disebutkan sebelumnya, saat ini
produktivitas kedelai rata-rata hanya sebesar 1,48 ton per hektar,
sementara produktivitas jagung rata-rata sudah mencapai 4,84 ton per
hektar. Tingginya produktivitas jagung tak lepas dari masifnya
penggunaan benih hibrida dalam beberapa tahun terakhir yang melibatkan
pihak swasta. Sejak tahun 2000, pengembangan benih hibrida oleh produsen
swasta sangat intensif. Hingga kini, tak kurang dari 100 varietas telah
di lepas di pasaran.
Karena itu, untuk menggenjot produksi sedikitnya ada dua hal yang harus diupayakan pemerintah, pertama,
perluasan areal tanam melalui pembukaan lahan baru khusus untuk
budidaya kedelai. Data dari Badan Pertanahan Nasional menunjukkan, saat
ini ada sekitar 2 juta hektar lahan terlantar yang potensial untuk
pertanian. Jika separuhnya saja bisa dioptimalkan untuk budidaya
kedelai, swasembada bakal dalam genggaman.
Kedua,
peningkatan produktivitas melalui penggunaan benih unggul yang
disubsidi oleh pemerintah. Dalam soal ini, kisah sukses introduksi benih
hibrida untuk jagung mestinya juga dapat diimplementasikan pada
kedelai. Pengadaan benih juga harus tepat waktu. Proses lelang dalam pengadaan benih yang memakan waktu panjang mestinya tak terjadi lagi.
Memang tak mudah. Tapi, tanpa keseriusan dan upaya keras
dalam penambahan luas areal tanam dan peningkatan produktivitas secara
signifikan, terget swasembada hanya akan sekedar mimpi dan negeri ini
bakal terus terbelenggu oleh ketergantungan impor. (*)
Komentar
Posting Komentar