Anda tentu pernah mendengar atau membaca statistik (data) yang menyebutkan tentang produksi padi nasional. Tapi pernahkah terbayang dalam benak Anda, bagaimana produksi padi yang dihasilkan oleh sekitar 17 juta rumah tangga dari 8 juta hektar lahan sawah itu dihitung. Tentu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Penghitungan produksi padi dilakukan dengan mengalikan data luas panen dan data produksi per hektar (produktivitas). Dalam prakteknya, penghitungan luas panen dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian atau dinas-dinas serupa di bawah koordinasi Kementerian Pertanian, sementara pengukuran produktivitas menjadi tanggung jawab petugas Badan Pusat Statistik (BPS) dibantu oleh petugas dinas.
Sepintas, penghitungan produksi padi cukup sederhana, tinggal mengalikan saja. Tapi masalahnya adalah pada penghitungan luas panen dan pengukuran produktivitas, bukan main berat tantangannya di lapangan.
Bayangkan, bagaimana caranya menghitung luas tanaman padi yang dipanen dari sekitar 8 juta hektar lahan sawah dalam setahun. Kalau semua petak sawah letaknya mengelompok secara teratur dalam satu hamparan, pekerjaan memperkirakan luas panen mungkin akan sedikit lebih mudah. Tapi kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Kebanyakan petak sawah menyebar secara tidak beraturan dengan bentuk yang tidak beraturan pula.
Selama ini, penghitungan luas panen menggunakan cara konvensional nan sederhana yang mungkin bakal membuat Anda tertawa, estimasi dengan menggunakan pandangan mata (eye estimate). Dengan metode ini, petugas datang ke sawah yang tanaman padinya siap dipanen. Kemudian, berbekal pengalamannya, petugasmemperkirakan luas tanaman padi yang akan dipanen dengan menggunakan pandangan mata. Inilah cara yang paling banyak digunakan di lapangan di samping pendekatan-pendekatan lain seperti estimasi melalui penggunaan pupuk dan irigasi.
Sebetulnya, akurasi dengan menggunakan estimasi pandangan mata cukup baik jika dilakukan oleh mereka yang berpengalaman. Metode ini juga merupakan pilihan terbaik di tengah keterbatasan teknologi untuk menghitung luas panen seperti penggunaan foto udara atau citra satelit beresolusi tinggi. Itulah sebab metode ini banyak digunakan di negara-negara berkembang.
Sayangnya, banyak petugas yang melakukan penghitungan luas panen di lapangan tidak berpengalaman atau bahkan sama sekali tidak turun ke sawah: luas panen dihitung di atas meja. Data luas panen memang sudah lama ditengarai oleh banyak kalangan menderita overestimate alias ketinggian.
Dan nampaknya, inilah yang menjadi sebab perkiraan produksi padi/beras yang dilaporkan pemerintah hampir selalu mengalami disasosiasi (tidak sejalan) dengan perkembangan harga beras di pasaran dan stok beras yang tersedia di gudang-gudang Bulog. Produksi beras dilaporkan surplus tapi harga beras merangkak naik karena kekurangan suplai dan Bulog harus mengimpor beras dari luar negeri karena cadangan beras nasional tidak bisa mencapai level aman dengan mengandalkan produksi beras dalam negeri.
Mengukur produktivitas juga tak kalah sulitnya. Secara nasional, angka produktivitas merupakan hasil pengukuran pada sampel plot berukurun 2,5 m X 2,5 m . Jumlah sampel plot sekitar 100 ribu lebih yang menyebar secara acak di seluruh Indonesia.
Tantangan dalam pengukuran produktivitas adalah beratnya alat yang digunakan dan kerjasama petani yang akan diukur produktivitas padinya.
Alat untuk mengukur produktivitas biasa disebut alat ubinan. Beratnya bukan main, mencapai 12 kilogram. Alat ini terdiri dari timbangan, pasak, dan batang-batang besistainless berbagai ukuran yang diletakkan dalam tas khusus, yang dari kejauhan tampak seperti perlengkapan perang.
Konon, kala Aceh masih dilanda konflik, petugas lapangan tak berani melakukan pengukuran produktivitas. Pasalnya, dari kejauhan, aparat TNI akan mengira mereka anggota GAM. Sebaliknya, dari kejauhan pula, anggota GAM akan mengira mereka anggota TNI. Ini dikarenakan tas yang berisi alat ubinan akan tampak seperti alat pelontar roket dari kejauhan.
Pengukuran produktivitas dengan alat ubinan dilakukan pada saat petani melakukan panen. Terkait hal ini, petani yang sawahnya terpilih sebagai sampel seringkali tidak kooperatif. Meskipun sebelumnya telah ada kesepakatan dengan petugas mengenai jadwal panen, petani seringkali ingkar janji: padi dipanen lebih awal dari jadwal yang telah disepakati. Walhasil, yang terjadi adalah non-response (lewat panen) yang otomatis akan memengaruhi akurasi penaksiran produktivitas karena berkurangnya jumlah sampel.
Yang terjadi di sebagian wilayah seperti Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat bahkan lebih gawat lagi. Betapa tidak. Banyak petani yang melakukan panen secara borongan saat dinihari dan selesai sebelum azan subuh berkumandang. Itu artinya petugas—dengan alat ubinannya yang bukan main berat itu—harus berada di sawah dini hari pula, saat orang lain sedang asyik-asyiknya bermimpi dan terlelap tidur. Jika tidak demikian, jumlah sampel bakal berkurang karena pengukuran produktivitas hanya dapat dilakukan sekali. Soalnya, padi yang sudah terlanjur dipanen tak mungkin ditanam kembali untuk diukur produktivitasnya.
Itulah sejumlah tantangan dalam penghitungan produksi padi. Susah memang, tapi mengingat pentingnya data yang dihasilkan untuk kebijakan perpadian dan perberasan nasional, semua kesusahan di lapangan harus diterabas dan dijalani dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab. (*)
Salam Statistik
Komentar
Posting Komentar