Ada guyonan kalau Sultra (Sulawesi Tenggara) merupakan kependekan dari “sulit transportasi”. Bahwa dua huruf pada pelat nomor kendaraan bermotor di wilayah ini, DT, merupakan singkatan dari “daerah tertinggal”.
Petugas ST2013 sedang menuju lokasi responden. |
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan membuktikan kebenaran guyonan ini, menjajal sulitnya medan di Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, dalam rangka monitoring kualitas Sensus Pertanian 2013 (ST2013).
Meskipun jaraknya hanya sekitar enam puluhan kilometer dari ibu kota Kabupaten Kolaka, perjalanan menuju Kecamatan Uluiwoi harus ditempuh selama empat jam. Untuk sampai ke kecamatan yang terletak di tengah belantara Sulawesi ini, Sungai Konawe dan Sungai Tawanga yang lumayan lebar dan berarus deras harus ditaklukkan dengan sarana penyebrangan seadanya: rakit dan jembatan kayu.
Lamanya waktu tempuh ke Kecamatan Uluiwoi disebabkan mobil yang ditumpangi harus memutar melewati kabupaten tetangga (Kabupaten Konawe) karena jalan pengerasan (baca: tanah) yang biasa dilalui sedang tidak bersahabat akibat hujan. Jika dipaksakan, mobil bisa terbenam dalam kubangan lumpur di Desa Ameroro, Kecamatan Tinondo.
Sulitnya akses menuju Kecamatan Uluiwoi membuktikan, guyonan Sultra sebagai kependekan dari sulit transportasi memang ada benarnya. Dan, di Kecamatan Uluiwoi pula, guyonan bahwa DT merupakan singkatan dari daerah tertinggal juga terbukti. Bayangkan, di kecamatan yang terdiri dari tiga belas desa dan hanya dihuni sekitar dua ribuan kepala keluarga ini listrik hanya menyala di malam hari. Itupun bukan listrik PLN, tapi listrik yang dibangkitkan sendiri oleh penduduk dengan menggunakan genset.
Sinyal handphone (HP) juga menjadi barang langka di kecamatan ini. Benda tidak kasat mata yang telah menjadi kebutuhan pokok manusia moderen ini hanya tersedia di sekitar kantor kecamatan dengan jangkauan terbatas. Itupun, kekuatan gelombangnya kerap sekarat kala cuaca buruk.
Mobil yang digunakan untuk monitoring sedang menerjang lumpur. |
Kesulitan juga kian bertambah karena sebagian besar responden tidak bisa ditemui saat siang hari. Pasalnya di siang hari mereka tidak berada di rumah, tapi di kebun untuk menjaga tanaman kakao dari serangan kera. Mereka baru kembali ke rumah saat petang sehingga mau tidak mau pendataan harus dilakukan di malam hari dengan penerangan seadanya. Beberapa di antara responden bahkan memilih tinggal di kebun untuk memastikan buah kakao mereka aman dari santapan kera. Seandainya lokasi kebun dekat dari rumah responden mungkin tidak menjadi soal. Sayang, kenyataannya tidak demikian: lokasi kebun bisa sejauh tujuh kilometer dari rumah.
Menariknya, di tengah berbagai kesulitan dan hambatan yang ada, elan (semangat) para petugas tetap berkobar dalam menuntaskan kegiatan pengumpulan data di lapangan. Rapat tim selalu dipenuhi luapan semangat untuk mendiskusikan penyelesaian berbagai kasus yang dijumpai di lapangan. Bahkan seringkali, serunya diskusi berlanjut hingga larut malam.
Kelelahan fisik setelah seharian mendata seolah tidak terasa, tenggelam oleh semangat dan rasa bangga menunaikan tugas negara untuk mempersembahkan sesuatu yang berguna bagi pembangunan negeri meskipun hanya sekedar digit-digit angka. Mungkin agak sedikit lebay kata anak muda jaman sekarang, tapi itulah yang terasa kala menjabat erat tangan mereka, kala berdiskusi di sela-sela kesibukan mereka mengumpulkan data di lapangan. (*)
Komentar
Posting Komentar