Di negara kita ini korupsi begitu merajalela. Ibarat kanker sudah stadium empat, susah bahkan hampir tidak mungkin untuk diobati.
Korupsi tidak hanya dilakukan para pejabat kelas atas, seperti menteri, anggota dewan, presiden partai, gubernur, bupati, dan camat. Di negara kita ini, seorang kepala desa bahkan kepala dusun pun melakukan korupsi.
Saat melakukan monitoring kualitas Sensus Pertanian 2013 di sebuah kecamatan kecil di Kabaputen Kolaka, Sulawesi Tenggara, saya kaget bukan kepalang ketika mendengar penuturan seorang aparat desa: dalam pemilihan kepala desa di sebuah kecamatan terpencil di tengah belantara sulawesi yang tidak dialiri listrik pun ternyata terjadi praktek jual beli suara.
Bayangkan, ada seorang calon kepala desa yang sampai berani memberondol satu suara dengan harga fantastis hanya untuk merengkuh kursi kepala desa: 200 ribu rupiah. Kenapa sang calon bisa seberani itu? Ia ternyata menggunakan logika bisnis, logika investasi. Jika berhasil menduduki jabatan kepala desa, pengeluaran 200 ribu untuk satu suara tak akan ada artinya jika dibandingkan dengan return yang bakal diterima.
Ada banyak dana proyek pembangunan desa yang bisa ditilap atau dikorupsi. Ia tak perlu risih dan takut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mana ada yang tahu dan peduli dengan kasus korupsi yang dilakukan di sebuah desa terpencil yang tak tersentuh sinyal telepon genggam dan tidak dialiri listrik. Dengan menilap dana program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri, misalnya, ia tidak hanya bisa balik modal, tapi juga untung berlipat-lipat.
Begitulah, negara kita ini rusak karena jabatan dimaknai sebagai kekuasaan, bukan pengabdian. Tragisnya lagi, di negara kita ini orang memburu kekuasaan dengan menghalalkan segala cara hanya untuk mengejar materi dan kekayaan.
Dari mana logika bisnis dan investasi seperti ini dipelajari, tentu bukan dari buku teks ekonomi. Di desa terpencil di pedalaman Kolaka sana, pelajaran mengenai logika bisnis dalam memburu kekuasaan dengan mudah bisa didapatkan dari pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan anggota dewan yang terhormat, dan mungkin juga pemilihan presiden. Begitulah negara kita ini, rusak dari atas hingga ke bawah, dari level negara hingga desa dan dusun.
Di kancah internasional, salah satu hal yang membuat negara kita ini kondang adalah korupsinya yang tidak ketulungan. Negara kita ini adalah salah negara yang terkorup di dunia. Saban hari, berita di koran-koran dan TV hanyalah berita tentang korupsi. Di negara kita ini apa saja dikorupsi mulai dari Al Quran hingga daging sapi.
Kenapa negara kita ini begitu korup? Mungkin karena sebagian besar para pemimpin dan penguasa di negara kita ini, dari level negara hingga dusun, korupsi. Tapi bukankah para penguasa dan pemimpin korup di negera kita ini hasil pilihan kita sendiri? Bukankah pilihan setiap orang seringkali menunjukkan siapa dirinya?
Pengalaman selama Sensus Pertanian bulan Mei ini menunjukkan, banyak responden yang tidak jujur ketika didata. Hanya karena takut tidak dapat bantuan atau BLT, misalnya, banyak responden yang membohongi petugas. Sapinya ada lima ekor, tapi dibilangnya cuma satu ekor. Kebun kakaonya luas berhektar-hektar namun dibilangnya cuma satu hektar. Kebohongan seperti inilah yang melahirkan banyak koruptor di negara kita ini.
Dan, mungkin dari sini kita bisa menarik kesimpulan kenapa negara kita ini begitu korup. (*)
Komentar
Posting Komentar