Syahdan, suatu ketika di dekade 30an telah
terjadi pembunuhan oleh seorang pemuda, di Blangnipa, tanah Mandar,
Sulawesi Barat (dulu Sulawesi Selatan). Menurut adat setempat, pemuda
tersebut harus dijatuhi hukuman mati.
Sang pemuda hanya bisa lolos dari ancaman hukuman mati jika semua anggota pabbicara (dewan adat) yang beranggotakan tujuh orang sepakat memberikan ampunan. Enam orang anggota dewan adat telah setuju untuk memberikan ampunan, kecuali satu: ibu kandung pemuda tersebut. Pemuda malang itu pun akhirnya meregang nyawa di pangkuan ibu kandungnya sendiri.
Peristiwa di atas begitu membekas dalam ingatan Baharuddin Lopa, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur. Dengan latar peristiwa itu, Lopa kecil kemudian tumbuh menjadi penegak hukum yang tangguh dan tanpa pandang bulu. Bagi Lopa, hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh, meskipun umur dunia ini tinggal sehari.
Seorang wartawan senior Kompas asal Makassar yang juga sahabat Lopa, Abun Sanda, pernah menulis dalam satu artikelnya di Harian Kompas bertajuk Kejujuran Lopa: betapa putra Mandar yang satu itu tak kenal kompromi dalam hal penegakkan hukum. “Lopa hanya mengenal dua warna, hitam dan putih,” tulis Abun Sanda dalam artikelnya.
Ada banyak kisah tentang betapa jujur dan lurusnya Lopa sebagai seorang penegak hukum. Salah satunya adalah ketika anak perempuannya meminta agar diantar ke sekolah dengan menggunakan mobil dinas Lopa. Lopa dengan tegas menolak, meskipun kantor dan sekolah anaknya searah. Bagi Lopa, mobil dinas hanya boleh digunakan untuk kepentingan dinas, haram jika digunakan untuk kepentingan keluarga.
Lopa memang manusia “setengah dewa”, sosok langka di tengah carut-marutnya penegakkan hukum negeri ini. Sayang, Lopa pergi begitu cepat, jauh lebih cepat dari masa pemerintahan Gus Dur. Lopa menghembuskan nafas terakhir di Riyadh, Saudi Arabia, 3 Juli 2001, setelah mengemban amanah sebagai Jaksa Agung selama 1,5 tahun.
Bersama kepergiannya, Lopa telah meninggalkan sebuah catatan sejarah yang akan terus di kenang, bahwa di panggung penegakkan hukum negeri ini pernah ada sosok seperti dirinya: “manusia setengah dewa” .
Tidak mudah
Di lain waktu, suatu siang di Rantepao, Sulawesi Selatan, dalam sebuah mobil yang sedang menyusuri jalan kecil menuju komplek situs megalitik Kalimbuang Bori (salah satu objek wisata di Toraja), empat orang pemuda sedang terlibat percakapan tentang sulitnya menjaga idealisme di lingkungan birokrasi yang korup. Mereka saling curhat mengenai sulitnya menolak uang di luar gaji dan tunjangan yang kerap mereka terima selama ini, yang tidak jelas asal-usulnya.
Keempat pemuda yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS ) anyar di salah satu instansi pemerintah itu akhirnya sepakat bahwa mereka harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan tak boleh mengeluh sebagai “penebus dosa”. Sayang, ada satu dosa lagi yang luput oleh mereka siang itu, yang juga harus ditebus. Mereka lupa bahwa percakapan siang itu sedang dilangsungkan dalam sebuah mobil dinas pinjaman sang kepala kantor. Menjadi manusia “setengah dewa” seperti Lopa memang tak mudah. (*)
Sang pemuda hanya bisa lolos dari ancaman hukuman mati jika semua anggota pabbicara (dewan adat) yang beranggotakan tujuh orang sepakat memberikan ampunan. Enam orang anggota dewan adat telah setuju untuk memberikan ampunan, kecuali satu: ibu kandung pemuda tersebut. Pemuda malang itu pun akhirnya meregang nyawa di pangkuan ibu kandungnya sendiri.
Peristiwa di atas begitu membekas dalam ingatan Baharuddin Lopa, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur. Dengan latar peristiwa itu, Lopa kecil kemudian tumbuh menjadi penegak hukum yang tangguh dan tanpa pandang bulu. Bagi Lopa, hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh, meskipun umur dunia ini tinggal sehari.
Seorang wartawan senior Kompas asal Makassar yang juga sahabat Lopa, Abun Sanda, pernah menulis dalam satu artikelnya di Harian Kompas bertajuk Kejujuran Lopa: betapa putra Mandar yang satu itu tak kenal kompromi dalam hal penegakkan hukum. “Lopa hanya mengenal dua warna, hitam dan putih,” tulis Abun Sanda dalam artikelnya.
Ada banyak kisah tentang betapa jujur dan lurusnya Lopa sebagai seorang penegak hukum. Salah satunya adalah ketika anak perempuannya meminta agar diantar ke sekolah dengan menggunakan mobil dinas Lopa. Lopa dengan tegas menolak, meskipun kantor dan sekolah anaknya searah. Bagi Lopa, mobil dinas hanya boleh digunakan untuk kepentingan dinas, haram jika digunakan untuk kepentingan keluarga.
Lopa memang manusia “setengah dewa”, sosok langka di tengah carut-marutnya penegakkan hukum negeri ini. Sayang, Lopa pergi begitu cepat, jauh lebih cepat dari masa pemerintahan Gus Dur. Lopa menghembuskan nafas terakhir di Riyadh, Saudi Arabia, 3 Juli 2001, setelah mengemban amanah sebagai Jaksa Agung selama 1,5 tahun.
Bersama kepergiannya, Lopa telah meninggalkan sebuah catatan sejarah yang akan terus di kenang, bahwa di panggung penegakkan hukum negeri ini pernah ada sosok seperti dirinya: “manusia setengah dewa” .
Tidak mudah
Di lain waktu, suatu siang di Rantepao, Sulawesi Selatan, dalam sebuah mobil yang sedang menyusuri jalan kecil menuju komplek situs megalitik Kalimbuang Bori (salah satu objek wisata di Toraja), empat orang pemuda sedang terlibat percakapan tentang sulitnya menjaga idealisme di lingkungan birokrasi yang korup. Mereka saling curhat mengenai sulitnya menolak uang di luar gaji dan tunjangan yang kerap mereka terima selama ini, yang tidak jelas asal-usulnya.
Keempat pemuda yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS ) anyar di salah satu instansi pemerintah itu akhirnya sepakat bahwa mereka harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan tak boleh mengeluh sebagai “penebus dosa”. Sayang, ada satu dosa lagi yang luput oleh mereka siang itu, yang juga harus ditebus. Mereka lupa bahwa percakapan siang itu sedang dilangsungkan dalam sebuah mobil dinas pinjaman sang kepala kantor. Menjadi manusia “setengah dewa” seperti Lopa memang tak mudah. (*)
Komentar
Posting Komentar