Setelah melalui perjalanan yang melelahkan,
akhirnya untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di Tanatoraja.
Sayang, malam telah larut. Eksotisme dan keindahan Toraja yang masyur
itu tak nampak, tenggelam oleh pekatnya malam. Tapi pagi ini, saya
tiba-tiba terkesiap oleh pemandangan yang tersua di depan mata.
Betul-betul memesona, alam yang sungguh cantik lagi menawan. Lelah buah perjalanan 9 jam dari Makassar pun lesap.
Keindahan dan eksotisme Tanatoraja memang melegenda lagi mendunia. Sayang, untuk menjangkaunya ternyata tidak mudah. Bayangkan, butuh sekitar 9 jam—dengan bus–untuk menginjakkan kaki di tempat yang oleh para turis mancanegara disebut land of the heaven ini. Sekedar menggambarkan, dengan perjalanan darat, ada 6 kabupaten (mudah-mudahan gak salah hitung) yang harus diterabas sebelum sampai ke Toraja: Maros, Pangkep, Barru, Pare Pare, Sidrap, dan Enrekang. Jalan yang harus dilalui pun cukup menantang: tidak sepenuhnya mulus, serta sempit nan berkelok saat memasuki wilayah Kabupaten Enrekang. Mungkin ini tidak menjadi soal bagi para pelancong sejati (baca: kere), yang semata-mata meletakkan kepuasan berpelancong pada keindahan dan eksotisme tempat yang dituju, tetapi tentu tidak bagi mereka yang juga mengutamakan kenyamanan. Sayangnya, mereka yang terakhir ini adalah sumber pundi-pundi devisa.
Sedikit miris, memang. Di satu sisi Toraja adalah ikon pariwisata Sulsel, bahkan Indonesia. Tapi, di sisi lain kita masih disugihi kenyataan getir tentang cerita klasik persoalan pariwisata negeri ini: infrastruktur yang tidak mendukung. Itulah mungkin yang menjadi salah satu sebab, kendati memiliki pemandangan alam dan budaya yang begitu memesona, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia rata-rata hanya mencapai 5 juta orang setiap tahunnya. Sangat jauh dibanding Malaysia yang jumlah kunjungan wismannya bisa mencapai 24 juta orang. Jadi, jangan terkesiap kalau negara serumpun yang kerap memusingkan kita karena ulahnya mencaplok budaya asli Indonesia sebagai miliknya itu kini menjadi destinasi wisata terpopuler nomor 9 di dunia. Terus di manakah posisi Indonesia? Enteh terlempar ke mana. Semoga persoalan ini menjadi fokus perhatian pemerintah, khususnya mereka yang gambar dan balihonya seolah tak ada habisnya memenuhi kiri-kanan jalan sepanjang Makassar hingga Rantepao yang panjangnya berkilo-kilo meter itu. Mohon maaf kalau pembuka tulisan ini tidak nyambung dengan judulnya.
Siang itu, bertempat di sebuah mesjid kecil di Kota Makassar, sebuah peristiwa sakral dalam perjalanan hidup seseorang tengah berlangsung: akad nikah. Meskipun belum melakoninya, saya telah kerap menyaksikan peristiwa semacam itu. Tapi entah mengapa, perasaan saya siang itu biasa saja, seolah tak ada yang istimewa. Mungkin karena prosesi akad nikah yang dilangsungkan siang itu terlalu sederhana, sangat sederhana. Sama sekali jauh dari kesan meriah. Bayangkan, acara siang itu hanya dihadiri dua puluhan orang tetamu dan dilangsungkan di mesjid kecil pula. Teman dari BPS Provinsi Sulawesi Selatan yang mengantarkan saya ke tempat akad dilangsungkan dalam perjalanan bahkan sempat bertutur, “Sepertinya kita sedang piknik (main-main), bukan hendak menghadiri acara ijab-kabul.”
Acara yang besar dan meriah tentu butuh persiapan yang besar pula, harus dari jauh-jauh hari. Inilah yang menjadi alasan kenapa prosesi akad nikah siang itu berlangsung sangat sederhana: persiapannya terlalu singkat. Setelah prosesi akad nikah usai, saya sempat berbincang dengan Kepala BPS Kabupaten Toraja Utara (boss tempat di mana sejoli yang menikah hari itu bekerja). Di teras masjid dia berujur, “Seperti inilah pernikahan ala koboi (cowboy).” Saya hanya tertawa menanggapinya. Entah apa maksud dari perkataannya itu. Tapi yang jelas, dia baru diberitahu bahwa anak buahnya bakal menikah hari itu seminggu sebelumnya, tengah malam pula…hehehe. Sepertinya, kawan yang menikah siang itu terlalu terobsesi dengan tanggal pernikahan cantik (12-12-2012) sehingga terkesan kebut-kebutan dengan persiapan seadanya.
Ahh…sudahlah. Saya kira, meriahnya acara tak penting, yang penting adalah satu kata yang terlontar dengan penuh ketegasan dari mulut penghulu siang itu, “Sahh.” Itulah esensi dari acara sakral siang itu: ijab-kabul. Dengan cara “Koboi Cengkarenng” pun tak menjadi soal. Halal sudah duren untuk dibelah. (*)
Sekali lagi, selamat berbahagia kawan. Dan, kepada para pembaca mohon maaf jikalau tulisan ini memuat konten yang tak pantas (pornografi).
Keindahan dan eksotisme Tanatoraja memang melegenda lagi mendunia. Sayang, untuk menjangkaunya ternyata tidak mudah. Bayangkan, butuh sekitar 9 jam—dengan bus–untuk menginjakkan kaki di tempat yang oleh para turis mancanegara disebut land of the heaven ini. Sekedar menggambarkan, dengan perjalanan darat, ada 6 kabupaten (mudah-mudahan gak salah hitung) yang harus diterabas sebelum sampai ke Toraja: Maros, Pangkep, Barru, Pare Pare, Sidrap, dan Enrekang. Jalan yang harus dilalui pun cukup menantang: tidak sepenuhnya mulus, serta sempit nan berkelok saat memasuki wilayah Kabupaten Enrekang. Mungkin ini tidak menjadi soal bagi para pelancong sejati (baca: kere), yang semata-mata meletakkan kepuasan berpelancong pada keindahan dan eksotisme tempat yang dituju, tetapi tentu tidak bagi mereka yang juga mengutamakan kenyamanan. Sayangnya, mereka yang terakhir ini adalah sumber pundi-pundi devisa.
Sedikit miris, memang. Di satu sisi Toraja adalah ikon pariwisata Sulsel, bahkan Indonesia. Tapi, di sisi lain kita masih disugihi kenyataan getir tentang cerita klasik persoalan pariwisata negeri ini: infrastruktur yang tidak mendukung. Itulah mungkin yang menjadi salah satu sebab, kendati memiliki pemandangan alam dan budaya yang begitu memesona, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia rata-rata hanya mencapai 5 juta orang setiap tahunnya. Sangat jauh dibanding Malaysia yang jumlah kunjungan wismannya bisa mencapai 24 juta orang. Jadi, jangan terkesiap kalau negara serumpun yang kerap memusingkan kita karena ulahnya mencaplok budaya asli Indonesia sebagai miliknya itu kini menjadi destinasi wisata terpopuler nomor 9 di dunia. Terus di manakah posisi Indonesia? Enteh terlempar ke mana. Semoga persoalan ini menjadi fokus perhatian pemerintah, khususnya mereka yang gambar dan balihonya seolah tak ada habisnya memenuhi kiri-kanan jalan sepanjang Makassar hingga Rantepao yang panjangnya berkilo-kilo meter itu. Mohon maaf kalau pembuka tulisan ini tidak nyambung dengan judulnya.
Siang itu, bertempat di sebuah mesjid kecil di Kota Makassar, sebuah peristiwa sakral dalam perjalanan hidup seseorang tengah berlangsung: akad nikah. Meskipun belum melakoninya, saya telah kerap menyaksikan peristiwa semacam itu. Tapi entah mengapa, perasaan saya siang itu biasa saja, seolah tak ada yang istimewa. Mungkin karena prosesi akad nikah yang dilangsungkan siang itu terlalu sederhana, sangat sederhana. Sama sekali jauh dari kesan meriah. Bayangkan, acara siang itu hanya dihadiri dua puluhan orang tetamu dan dilangsungkan di mesjid kecil pula. Teman dari BPS Provinsi Sulawesi Selatan yang mengantarkan saya ke tempat akad dilangsungkan dalam perjalanan bahkan sempat bertutur, “Sepertinya kita sedang piknik (main-main), bukan hendak menghadiri acara ijab-kabul.”
Acara yang besar dan meriah tentu butuh persiapan yang besar pula, harus dari jauh-jauh hari. Inilah yang menjadi alasan kenapa prosesi akad nikah siang itu berlangsung sangat sederhana: persiapannya terlalu singkat. Setelah prosesi akad nikah usai, saya sempat berbincang dengan Kepala BPS Kabupaten Toraja Utara (boss tempat di mana sejoli yang menikah hari itu bekerja). Di teras masjid dia berujur, “Seperti inilah pernikahan ala koboi (cowboy).” Saya hanya tertawa menanggapinya. Entah apa maksud dari perkataannya itu. Tapi yang jelas, dia baru diberitahu bahwa anak buahnya bakal menikah hari itu seminggu sebelumnya, tengah malam pula…hehehe. Sepertinya, kawan yang menikah siang itu terlalu terobsesi dengan tanggal pernikahan cantik (12-12-2012) sehingga terkesan kebut-kebutan dengan persiapan seadanya.
Ahh…sudahlah. Saya kira, meriahnya acara tak penting, yang penting adalah satu kata yang terlontar dengan penuh ketegasan dari mulut penghulu siang itu, “Sahh.” Itulah esensi dari acara sakral siang itu: ijab-kabul. Dengan cara “Koboi Cengkarenng” pun tak menjadi soal. Halal sudah duren untuk dibelah. (*)
Sekali lagi, selamat berbahagia kawan. Dan, kepada para pembaca mohon maaf jikalau tulisan ini memuat konten yang tak pantas (pornografi).
Komentar
Posting Komentar