Kala masih menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) sekitar 6 tahun yang lalu, dalam sebuah kuliah Bahasa Indonesia, saya pernah menjadi bahan tertawaan seisi kelas. Saya lupa materi apa persisnya yang menjadi topik bahasan di kelas hari itu. Tapi yang jelas, saya mendapat tugas membaca sebuah kalimat.
Entah mengapa, saat sedang membaca kalimat yang ditugaskan itu, tawa tiba-tiba pecah membahana di ruangan kelas. Pastilah ada yang lucu. Dan kelucuan itu ternyata muncul ketika saya mengucapkan kata "kedua" dengan gaya orang Sulawesi udik. Pengucapan fonem "e" saya terlalu kentara sehingga terdengar lucu di telinga teman-teman yang sebagian besar berasal dari Jawa. Rupanya bagi mereka, pengucapan fonem "e" yang terlalu kelebihan vitamin E itu, sama lucunya dengan nama dosen Bahasa Indonesia yang mengajar hari itu: Ibu Rahasiawati, dosen Universitas Negeri Jakarta asal Makassar.
Belajar dari kejadian lucu tersebut, selama empat tahun kemudian saya berusaha keras mempelajari cara pengucapan fonem "e" yang tepat: kapan harus diucapakn secara jelas, kapan sebaliknya. Dan alhamdulillah bisa, meskipun saya kadang keceplosan saat kebanyakan ngomong.
Jujur kawan, di kampung saya yang masih dalam wilayah NKRI itu, dan saya kira ini jamak terjadi di hampir semua wilayah Sulawesi, fonem "e" diucapkan secara pukul rata pada setiap kata yang mengandung huruf "e". Podo wae kata orang Jawa. Karenanya, akan sedikit lucu kedengarannya ketika kata "gerebek" dilafalkan oleh seorang Jusuf Kalla atau Abraham Samad yang logat Bugis-Makassarnya masih kental itu.
Belakangan saya sadar, ternyata kelucuan dalam pengucapan fonem "e" seperti di atas adalah sesuatu yang seksi. Bagian dari keragaman Nusantara yang tak perlu dipersoalkan· Yang terpenting adalah subtansi dan bobot apa yang diomongkan, tak peduli apakah fonem "e" diucapkan terlalu kentara atau tidak.
Secara etno-demografis, orang Indonesia berasal dari latar etnis yang beragam. Ada sekitar 300 lebih etnis yang mendiami wilayah Nusantara dengan bahasanya masing-masing. Kondisi ini menjadikan Bahasa Indonesia kaya dengan beragam dialek kedaerahan dalam tutur bahasa lisan· Gaya ber-Bahasa Indonesia orang Jawa secara lisan tentu berbeda dengan orang Makassar, Minang, atau orang Batak. Masing-masing ada cengkoknya sendiri. Dan memaksakannya pada satu bentuk sungguh sangat menyiksa.
Entah mengapa, saat sedang membaca kalimat yang ditugaskan itu, tawa tiba-tiba pecah membahana di ruangan kelas. Pastilah ada yang lucu. Dan kelucuan itu ternyata muncul ketika saya mengucapkan kata "kedua" dengan gaya orang Sulawesi udik. Pengucapan fonem "e" saya terlalu kentara sehingga terdengar lucu di telinga teman-teman yang sebagian besar berasal dari Jawa. Rupanya bagi mereka, pengucapan fonem "e" yang terlalu kelebihan vitamin E itu, sama lucunya dengan nama dosen Bahasa Indonesia yang mengajar hari itu: Ibu Rahasiawati, dosen Universitas Negeri Jakarta asal Makassar.
Belajar dari kejadian lucu tersebut, selama empat tahun kemudian saya berusaha keras mempelajari cara pengucapan fonem "e" yang tepat: kapan harus diucapakn secara jelas, kapan sebaliknya. Dan alhamdulillah bisa, meskipun saya kadang keceplosan saat kebanyakan ngomong.
Jujur kawan, di kampung saya yang masih dalam wilayah NKRI itu, dan saya kira ini jamak terjadi di hampir semua wilayah Sulawesi, fonem "e" diucapkan secara pukul rata pada setiap kata yang mengandung huruf "e". Podo wae kata orang Jawa. Karenanya, akan sedikit lucu kedengarannya ketika kata "gerebek" dilafalkan oleh seorang Jusuf Kalla atau Abraham Samad yang logat Bugis-Makassarnya masih kental itu.
Belakangan saya sadar, ternyata kelucuan dalam pengucapan fonem "e" seperti di atas adalah sesuatu yang seksi. Bagian dari keragaman Nusantara yang tak perlu dipersoalkan· Yang terpenting adalah subtansi dan bobot apa yang diomongkan, tak peduli apakah fonem "e" diucapkan terlalu kentara atau tidak.
Secara etno-demografis, orang Indonesia berasal dari latar etnis yang beragam. Ada sekitar 300 lebih etnis yang mendiami wilayah Nusantara dengan bahasanya masing-masing. Kondisi ini menjadikan Bahasa Indonesia kaya dengan beragam dialek kedaerahan dalam tutur bahasa lisan· Gaya ber-Bahasa Indonesia orang Jawa secara lisan tentu berbeda dengan orang Makassar, Minang, atau orang Batak. Masing-masing ada cengkoknya sendiri. Dan memaksakannya pada satu bentuk sungguh sangat menyiksa.
Komentar
Posting Komentar