Tahun 2010. Siang itu, di sebuah ruangan di
kantor Badan Pusat Statistik (BPS), Pasar Baru, Jakarta Pusat, seorang
kawan tampak sedang bingung memandangi selembar kertas pilihan
penempatan di hadapannya. Kertas itu tampak kosong melompong, belum
terisi.
Dia memang tak punya banyak pilihan. Finis dengan nilai indek prestasi kumulatif yang biasa saja memaksanya harus pandai-pandai menuliskan nama tempat (provinsi/kabupaten) di kertas itu, jika tak ingin tersasar jauh di tempat-tempat yang sama sekali tidak diingini oleh sebagian besar kawannya yang lain, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Syahdan, kehadiran saya siang itu akhirnya memecah kebingungannya. Tak banyak pikir, dia segera mengambil kertas pilihan penempatan yang telah saya isi dengan nama-nama provinsi di Pulau Sulawesi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Dia kemudian menconteknya. Akhirnya, pilihannya pun serupa dengan saya.
Siang itu, saya tak lupa mendoakannya agar ditempatkan di Sulawesi Selatan. Sebagai orang Sulawesi, saya tahu betul bahwa provinsi itu adalah yang paling mapan dan maju di Indonesia Timur. Meskipun masih kalah jauh dari Jakarta tentunya. Tapi setidaknya, dengan ditempatkan di Sulawesi Selatan, dia yang tumbuh besar di Cengkareng itu, tak terlalu kaget saat "pindah alam", tak terlalu kaget mendapati kenyataan bahwa variasi satu digit angka dalam Indeks Theil atau Indek Williamson itu (indikator ketimpangan regional) sejatinya adalah jurang ketimpangan yang lebarnya laksana bumi dan langit. Bukan main timpangnya.
Takdir Tuhan memang sulit diprediksi. Pengumuman penempatan pegawai baru BPS alumni STIS yang keluar beberapa bulan kemudian menampatkan kawan saya itu di Sulsel. Sayangnya, dia tersasar jauh hingga ke Rantepao, Kabupaten Toraja Utara. Sebuah tempat yang sangat eksotis untuk berpelancong, memang. Tapi tentu sama sekali bukan tempat yang menarik untuk tinggal hingga bertahun-tahun bagi dia yang selama 20 tahun lamanya dimanjakan dengan gemerlap kemapanan infrastruktur kota besar. Di tempat yang jauhnya sekitar 9 jam perjalanan dari kota Makassar itulah dia mengawali karirnya sebagai statistisi (pegawai BPS), dan kelak menemukan jodohnya.
Lagi-lagi takdir Tuhan memang sulit diprediksi. Kemarin malam (11/12), saat sedang asyik menyeruput nikmatnya kuah coto Makassar di sebuah rumah makan di Jalan Somba Opu, Losari. Saya kembali bersua dengan kawan saya itu. Dia datang bersama keluarganya (kedua orang dan seorang adik) yang baru datang dari Jawa. Saya tentu kaget dengan pertemuan yang tak terduga itu. Dunia memang sempit. Dan, yang membuat saya lebih kaget lagi, ternyata besok adalah hari paling bersejarah baginya. Dia akan melangsungkan prosesi akad pernikahan, mengakhiri masa lajangnya. Saya, yang sebetulnya saat itu dalam kapasitas sedang tugas daerah, mau tidak mau harus menghadirinya.
Singkat cerita, bertempat di sebuah mesjid kecil di Kota Makassar, sebuah prosesi akad sederhana pun dilangsungkan. Siang itu, dengan menggenggam erat tangan penghulu, dia mengucap janji setia sebagai suami dari seorang gadis cantik pilihan hatinya, seoarang Koordianator Statistik Kecamatan (KSK) dari Rantepao, Toraja Utara. Ahh...lagi-lagi takdir Tuhan (jodoh) memang sulit diprediksi. (*)
Dia memang tak punya banyak pilihan. Finis dengan nilai indek prestasi kumulatif yang biasa saja memaksanya harus pandai-pandai menuliskan nama tempat (provinsi/kabupaten) di kertas itu, jika tak ingin tersasar jauh di tempat-tempat yang sama sekali tidak diingini oleh sebagian besar kawannya yang lain, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Syahdan, kehadiran saya siang itu akhirnya memecah kebingungannya. Tak banyak pikir, dia segera mengambil kertas pilihan penempatan yang telah saya isi dengan nama-nama provinsi di Pulau Sulawesi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Dia kemudian menconteknya. Akhirnya, pilihannya pun serupa dengan saya.
Siang itu, saya tak lupa mendoakannya agar ditempatkan di Sulawesi Selatan. Sebagai orang Sulawesi, saya tahu betul bahwa provinsi itu adalah yang paling mapan dan maju di Indonesia Timur. Meskipun masih kalah jauh dari Jakarta tentunya. Tapi setidaknya, dengan ditempatkan di Sulawesi Selatan, dia yang tumbuh besar di Cengkareng itu, tak terlalu kaget saat "pindah alam", tak terlalu kaget mendapati kenyataan bahwa variasi satu digit angka dalam Indeks Theil atau Indek Williamson itu (indikator ketimpangan regional) sejatinya adalah jurang ketimpangan yang lebarnya laksana bumi dan langit. Bukan main timpangnya.
Takdir Tuhan memang sulit diprediksi. Pengumuman penempatan pegawai baru BPS alumni STIS yang keluar beberapa bulan kemudian menampatkan kawan saya itu di Sulsel. Sayangnya, dia tersasar jauh hingga ke Rantepao, Kabupaten Toraja Utara. Sebuah tempat yang sangat eksotis untuk berpelancong, memang. Tapi tentu sama sekali bukan tempat yang menarik untuk tinggal hingga bertahun-tahun bagi dia yang selama 20 tahun lamanya dimanjakan dengan gemerlap kemapanan infrastruktur kota besar. Di tempat yang jauhnya sekitar 9 jam perjalanan dari kota Makassar itulah dia mengawali karirnya sebagai statistisi (pegawai BPS), dan kelak menemukan jodohnya.
Lagi-lagi takdir Tuhan memang sulit diprediksi. Kemarin malam (11/12), saat sedang asyik menyeruput nikmatnya kuah coto Makassar di sebuah rumah makan di Jalan Somba Opu, Losari. Saya kembali bersua dengan kawan saya itu. Dia datang bersama keluarganya (kedua orang dan seorang adik) yang baru datang dari Jawa. Saya tentu kaget dengan pertemuan yang tak terduga itu. Dunia memang sempit. Dan, yang membuat saya lebih kaget lagi, ternyata besok adalah hari paling bersejarah baginya. Dia akan melangsungkan prosesi akad pernikahan, mengakhiri masa lajangnya. Saya, yang sebetulnya saat itu dalam kapasitas sedang tugas daerah, mau tidak mau harus menghadirinya.
Singkat cerita, bertempat di sebuah mesjid kecil di Kota Makassar, sebuah prosesi akad sederhana pun dilangsungkan. Siang itu, dengan menggenggam erat tangan penghulu, dia mengucap janji setia sebagai suami dari seorang gadis cantik pilihan hatinya, seoarang Koordianator Statistik Kecamatan (KSK) dari Rantepao, Toraja Utara. Ahh...lagi-lagi takdir Tuhan (jodoh) memang sulit diprediksi. (*)
Komentar
Posting Komentar