Hanya selang dua tahun selepas merengkuh gelar doctor of philisophy dari Northern Illionis University, Amerika Serikat, pada tahun 1999, lelaki asal Makassar, Sulawesi Selatan itu dinobatkan oleh Majalah Asia Week sebagai "Future Leader of Asia." Tiga tahun kemudian (2002), giliran Majalah Gatra menobatkannya sebagai Man of the Year.
Penghargaan sebagai Futu re Leader of Asia memang pantas disandangnya. Kala itu, situasi perpolitikan Indonesia sedang limbung pasca jatuhnya rezim Soeharto yang otoriter dan korup. Sistem politik dan tata pemerintahan harus ditata ulang agar mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi.
Dia, yang menuntaskan pendidikan S3-nya dengan merampungkan disertasi bertajuk Contextual Analyis on Indonesian Electoral Behavior, pun ikut serta dalam ikhtiar besar itu. Bersama koleganya Ryaas Rasyid yang juga asal Makassar, doktor muda itu bergabung dengan Tim Tujuh (1998-1999) untuk merumuskan paket Undang-undang Politik yang baru sebagai pijakan bagi penyelenggaraan pemilu demokratis pertama di era reformasi.Tim ini juga berhasil merumuskan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru sebagai pijakan reformasi sistem pemerintahan dengan desentralisasi dan otonomi daerah.
Keterlibatannya dalam gerakan reformasi terus berlanjut dengan bergabung dalam keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tahun 1999. Beberapa tahun kemudian, karir politiknya perlahan tapi pasti terus menanjak. Kedekatannya dengan SBY mengantarkannya ke lingkungan Istana sebagai juru bicara presiden. Dia pun seketika menjadi idola banyak orang, utamanya kaum hawa, karena sering tampil di layar kaca dengan suaranya yang khas.
Dan, puncak karir politiknya adalah ketika di tahun 2009 dia dipercaya oleh SBY sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Reward yang laik diterimanya setela berkorban mati-matian dalam pemilihan presiden tahun 2009, bahkan hingga "berkonfrontasi" dengan suadara-saudaranya di Makassar lewat pernyataannya yang kontroversial: orang Sulawesi Selatan (Jusuf Kalla) belum pantas untuk jadi presiden.
Tapi kini, semuanya seolah bakal segera berbalik. Surat permohonan pencegahan ke luar negeri yang dilayangkan KPK ke Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM 3 Desember lalu nampaknya bakal menjadi pertanda bahwa karir politiknya yang gilang gemiling bakal segera tamat dengan akhir yang memilukan.
Memang statusnya masih tersangka. Tapi jujur, saya yang sempat mengidolakannya sedikit kecewa. Kok, bisa-bisanya orang yang dulunya reformis, yang ikut menentukan arah kehidupan demokrasi dan tata pemerintahan negeri ini, yang digadang-gadang bakal menjadi pemimpin negeri ini, bahkan Asia, harus terjerat kasus korupsi dan kemungkinan bakal mengakhiri perjalanan karirnya sebagai pesakitan.
Sepertinya ada yang salah dengan sistem di negeri ini sehingga musuh yang bernama korupsi seolah begitu kuat. Menjadikan orang-orang yang tadinya reformis dan tempat kita menaruh harapan untuk perbaikan negeri ini tergilas olehnya. Sindhunata memang betul dalam tulisannya, bahwa “oli kebohongan (korupsi)” yang melumuri bangsa ini sudah terlalu pekat. Sulit untuk dibersihkan. (*)
Penghargaan sebagai Futu re Leader of Asia memang pantas disandangnya. Kala itu, situasi perpolitikan Indonesia sedang limbung pasca jatuhnya rezim Soeharto yang otoriter dan korup. Sistem politik dan tata pemerintahan harus ditata ulang agar mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi.
Dia, yang menuntaskan pendidikan S3-nya dengan merampungkan disertasi bertajuk Contextual Analyis on Indonesian Electoral Behavior, pun ikut serta dalam ikhtiar besar itu. Bersama koleganya Ryaas Rasyid yang juga asal Makassar, doktor muda itu bergabung dengan Tim Tujuh (1998-1999) untuk merumuskan paket Undang-undang Politik yang baru sebagai pijakan bagi penyelenggaraan pemilu demokratis pertama di era reformasi.Tim ini juga berhasil merumuskan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru sebagai pijakan reformasi sistem pemerintahan dengan desentralisasi dan otonomi daerah.
Keterlibatannya dalam gerakan reformasi terus berlanjut dengan bergabung dalam keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tahun 1999. Beberapa tahun kemudian, karir politiknya perlahan tapi pasti terus menanjak. Kedekatannya dengan SBY mengantarkannya ke lingkungan Istana sebagai juru bicara presiden. Dia pun seketika menjadi idola banyak orang, utamanya kaum hawa, karena sering tampil di layar kaca dengan suaranya yang khas.
Dan, puncak karir politiknya adalah ketika di tahun 2009 dia dipercaya oleh SBY sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Reward yang laik diterimanya setela berkorban mati-matian dalam pemilihan presiden tahun 2009, bahkan hingga "berkonfrontasi" dengan suadara-saudaranya di Makassar lewat pernyataannya yang kontroversial: orang Sulawesi Selatan (Jusuf Kalla) belum pantas untuk jadi presiden.
Tapi kini, semuanya seolah bakal segera berbalik. Surat permohonan pencegahan ke luar negeri yang dilayangkan KPK ke Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM 3 Desember lalu nampaknya bakal menjadi pertanda bahwa karir politiknya yang gilang gemiling bakal segera tamat dengan akhir yang memilukan.
Memang statusnya masih tersangka. Tapi jujur, saya yang sempat mengidolakannya sedikit kecewa. Kok, bisa-bisanya orang yang dulunya reformis, yang ikut menentukan arah kehidupan demokrasi dan tata pemerintahan negeri ini, yang digadang-gadang bakal menjadi pemimpin negeri ini, bahkan Asia, harus terjerat kasus korupsi dan kemungkinan bakal mengakhiri perjalanan karirnya sebagai pesakitan.
Sepertinya ada yang salah dengan sistem di negeri ini sehingga musuh yang bernama korupsi seolah begitu kuat. Menjadikan orang-orang yang tadinya reformis dan tempat kita menaruh harapan untuk perbaikan negeri ini tergilas olehnya. Sindhunata memang betul dalam tulisannya, bahwa “oli kebohongan (korupsi)” yang melumuri bangsa ini sudah terlalu pekat. Sulit untuk dibersihkan. (*)
Komentar
Posting Komentar