Pagi itu, sehari menjelang ulang tahun negeri ini yang ke-67, dari balkon gedung DPR, dengan mimik serius, Abel Lesu Mau (Abel) sedang menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya. Hari yang sungguh istimewa bagi Abel, untuk pertama kalinya, lelaki paruh baya asal Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menginjakkan kaki di Senayan dan bertandang ke gedung DPR.
Abel memang pantas bangga. Pasalnya, hari itu dia hadir sebagai salah satu teladan nasional bersama puluhan Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) berprestasi lainnya dari seluruh Indonesia. Buah dari pengabdiannya selama 15 tahun sebagai petugas pengumpul data.
Senyum tipis pun tersungging di bibirnya tatkala pidato SBY yang berapi-api pagi itu sampai pada kalimat:"...ekonomi kita tetap tumbuh. Kita dapat bertahan terhadap krisis dunia. Fundamental ekonomi makin kuat, fiskal kita relatif terjaga, dan kemiskinan serta pengangguran berkurang. Kenyataan ini sungguh menggembirakan kita semua...Jumlah penduduk negara kita tahun ini lebih dari 237 juta jiwa, merupakan jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia..."
Abel sudah sepantasnya tersenyum lagi bangga, kalau bukan karena jerih payah dia dan kawan-kawannya para KSK, rentetan kalimat yang menerbitkan sedikit optimisme sebagai bangsa Indonesia seperti di atas tak mungkin terlontar dari lisan SBY hari itu.
Kelau bukan langkasnya kerja mereka dalam mewawancarai puluhan ribu sampel rumah tangga di seluruh Indonesia saat pelaksanaan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tak mungkin diperoleh gambaran mengenai perkembangan jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di negeri ini: turun atau naik.
Kalau bukan elan (semangat) mereka yang berkobar kala mengumpulkan data saat pelaksanaan Sensus Penduduk tahun 2010 lalu, menyisir hampir seluruh penjuru negeri, tentu tak ada yang tahu bahwa jumlah penduduk negeri ini telah menyentuh angka 237 juta jiwa lebih, nomor empat di dunia.
Ujung tombak
Sebagai institusi pemerintah yang diamanahi tugas memotret sejarah pembangunan negeri ini dengan data, Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menyajikan berbagai rupa data statistik untuk memuaskan kebutuhan pengguna data: pemerintah dan publik secara luas. Data-data tersebut dihasilkan melalui sejumlah kegiatan statistik, baik sensus maupun survei.
Karena yang hendak dipotret adalah gambaran tentang Indonesia yang maha luas, kegiatan statistik–sensus maupun survei–bukan merupakan pekerjaan yang enteng dan remeh. Rangkaian kegiatan mulia dari perencanaan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan, hingga data siap tersaji sebagai statistik resmi (official statistics) di ruang publik betul-betul menguras tenaga dan pikiran (very exhausted).
Bayangkan, betapa lelahnya jika Anda diminta mengumpulkan data mengenai pola konsumsi 75 ribu sampel rumah tangga melalui proses wawancara yang menghabiskan waktu tak kurang dari dua setengah jam dengan berbekal kuesioner yang berisi lebih dari 500 item pertanyaan, atau diminta mengumpulkan keterangan demografi dari sekitar 60 juta rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia. Tentu bukan pekerjaan yang ringan.
Dan di pundak para KSK seperti Abellah kesuksesan setiap kegiatan pengumpulan data disandarkan. Sekedar untuk diketahui, dalam penyelenggaraan statistik–baik sensus maupun survei – BPS mengandalkan sekitar 6 ribu orang KSK seperti Abel sebagai petugas pengumpul data. Wilayah kerja mereka adalah setiap kecamatan di seluruh Indonesia dari Aceh hingga Papua yang jumlahnya mencapai 6.598 kecamatan pada tahun 2010. Dalam menunaikan tugas sebagai pengumpul data, sebagian besar mereka seringkali harus bergulat dengan beratnya medan tugas karena infratsruktur yang minim, responden yang super cuek dan bukan main sombongnya, serta berbagai tantangan berat lainnya.
Mereka adalah ujung tombak BPS, penentu kualitas serta akurasi data-data yang tersaji di ruang publik. Di tangan para KSK seperti Abellah semua data yang akan diwartakan BPS kepada publik itu bermula. Di dalam statistik ada ungkapan, garabage in garabage out. Jika (data) sampah yang masuk, maka sampah pula yang keluar, kurung lebih seperti itu maknanya. Karena itu, jika sampah yang mereka kumpulkan, maka sampah pula hakekatnya yang tersaji di ruang publik.
Tanpa dedikasi mereka yang luar biasa tak akan tersaji di depan Anda data-data seperti inflasi, jumlah penduduk miskin, rasio gini, jumlah orang menganggur, produksi padi, dan nilai tukar petani. Data-data tersebut ibarat lentera (guidance) untuk membangun negeri ini. Karena tanpa data sebagai dasar perumusan dan pengambilan kebijakan, mustahil membangun negeri ini dengan baik.
Sungguh tanggungjawab yang tidak ringan. Bayangkan, apa jadinya jika berbagai kebijakan di negeri ini, yang menghabiskan puluhan truliun uang rakyat, dieksekusi berdasarkan data-data sampah, yang melenceng jauh dari realitas sesungguhnya. Tentu sebuah dosa kepada bangsa dan negara. Namun patut diperhatikan, Anda sebagai responden (sumber data) juga amat menentukan kualitas data yang dikumpulkan oleh para petugas BPS. Pada akhirnya, dedikasi mereka yang luar biasa dan elan mereka yang berkobar dalam mengumpulkan data tak akan berguna jika data yang Anda berikan adalah “sampah”, apalagi jika Anda sampai menolak untuk diwawancarai. Mari bekerjasama membangun negeri ini dengan menjadi responden yang baik dan kooperatif.
Salam Statistik.
Komentar
Posting Komentar