Meskipun data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis lalu (1/11) menyebutkan bahwa produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,96 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 43,44 juta ton beras (asumsi: angka konversi gabah ke beras sebesar 0.63), hal tersebut kenyataannya belum bisa menjamin bahwa tahun ini Bulog tidak kembali mengimpor beras meskipun dengan alasan hanya untuk sekedar berjaga-jaga jika harga beras sewaktu-waktu bergejolak (stabilisasi harga). Diketahui, pemerintah telah mengumumkan untuk kembali mengimpor beras sebanyak 1 juta ton tahun ini (KOMPAS, 21 September 2012). Nampaknya, swasembada beras masih jauh dari harapan.
Sejarah perberasan negeri ini memang menarik untuk diulas. Di tahun 1984, setelah berhasil merengkuh swasembada beras, Indonesia (Bulog) dengan mantap memutuskan untuk masuk ke pasar beras internasional. Keputusan itu menjadikan harga beras di pasar internasional terguncang keras: jatuh dari 250 dolar AS per ton menjadi 150 dolar AS per ton. Bulog sendiri merugi sebagai eksportir.
Bukan main. Produksi beras nasional kala itu memang melimpah. BPS menyebutkan, produksi padi nasional saat itu mencapai 38,14 juta ton. Dengan menggunakan angka konversi gabah ke beras sebesar 0.63, artinya produksi beras nasional kala itu mencapai 22,77 juta ton, lebih dari cukup untuk mengisi perut seluruh penduduk Indonesia yang saat itu berjumlah sekitar 180 juta jiwa.
Kini, setelah berpuluh tahun berlalu, kondisinya telah berbalik. Kita kembali mengguncang harga beras di pasar internasional dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sebagai eksportir, tapi importir. Bukan pula sembarang importir, tapi salah satu importir beras terbesar sejagat. Sungguh sebuah ironi.
Kini, Indonesia kerap dituduh sebagai negara yang memicu kenaikan harga beras di pasar internasional. Bayangkan, dari sekitar 8 juta ton beras di pasar internasional, sekitar 1,5 juta ton sampai 2 juta tonnya habis diborong oleh Indonesia. Tahun 2011 lalu, realisasi impor beras yang dilakukan Bulog mencapai 2,16 juta ton. Impor beras sebanyak itu telah menggerus sekitar 7 triliun devisa negara.
Pada tahun 1798, dalam esainya bertajuk An Essay of Principle of Population, pakar demografi kenamaan asal Inggris, Robert Thomas Malthus meramalkan bahwa jumlah populasi akan mengalahkan pasokan makanan. Menurutnya, jumlah pupulasi akan bertambah mengikuti deret ukur (2, 4, 8, …), sementara pasokan pangan akan bertambah mengikuti deret hitung (1,2,3,…). Langgam pertambahan yang berbeda ini mengakibatkan pasokan pangan bakal sulit mengimbangi pertumbuhan populasi.
Untuk kasus Indonesia, apa yang diramalkan Malthus berabad yang lalu terbukti benar. Kini, penduduk Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa. Celakanya, pada saat yang sama kita adalah negara dengan angka konsumsi beras per kapita, boleh dibilang, tertinggi di dunia. Saat ini, konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia mencapai 114 kilogram per tahun. Pasalnya, terkait pemenuhan (intake) karbahohidrat, 80 persen kebutuhan karbohidrat orang Indonesia dipenuhi dari nasi yang ditanak dari beras.
Nampaknya, inilah yang menjadi sebab meskipun produksi beras nasional diperkirakan mencapai 43,44 juta ton tahun ini, beras sebanyak itu masih kurang untuk menjamin kecukupan stok beras di dalam negeri. Sehingga suka atau tidak suka, impor beras tetap mesti dilakukan.
Kurangi makan nasi
Saat ini, tingkat partisipasi orang Indonesia dalam mengkonsumsi beras mencapai 100 persen (kecuali Maluku dan Papua sebesar 80 persen). Konsekwensinya, perut sebagian besar orang Indonesia tak akan kenyang kalau tidak diisi dengan nasi. Tidak heran kalau di berbagai hajatan kita jumpai, atau mungkin kita sendiri pelakonnya, piring telah dipenuhi nasi, tapi pada saat yang sama mie goreng pun “disambar”. Padahal, baik nasi maupun mie secara ilmu gizi fungsinya sama: sama-sama sumber karbohidrat. Begitulah faktanya, di negeri ini bukan makan namanya jika tanpa nasi.
Tingginya angka konsumsi beras penduduk Indonesia menunjukkan, upaya untuk merengkuh swasembada beras dan keluar dari jebakan impor beras tidak hanya melulu dengan menggenjot produksi beras nasional yang menghabiskan ongkos begitu mahal. Angka konsumsi beras juga harus ditekan. Menekan angka komsumsi beras juga akan mengurangi jumlah pengidap diabetes di negeri ini. Saat ini, untuk urusan jumlah pengidap diabetes, Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia. Salah satu penyebabnya adalah pola makan yang tidak berimbang, yang terlalu condong ke karbohidrat.
Untuk mengurangi angka konsumsi beras, diversifikasi pangan perlu digalakkan. Dengan demikian, sumber pemenuhan karbohidrat penduduk Indonesia tidak hanya bertumpu pada beras, tetapi juga dari komoditas-komoditas pangan lokal, seperti singkong, ganyong, dan talas. Upaya ke arah ini memang telah dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya masih sebatas slogan dan kampanye. Padahal, yang dibutuhkan adalah upaya konkret. (*)
Komentar
Posting Komentar