Malam itu, dibalut dinginnya Kota Bandung, dengan mimik wajah yang tampak risau seorang pejabat sebuah instansi pemerintah memaparkan data produksi padi-beras di depan para peserta workshop. Dia curhat soal rendahnya kepercayaan berbagai pihak terhadap data produksi padi-beras yang dihasilkan selama ini.
Dengan mengulang-ngulang kata galau dalam paparannya, pejabat itu menyebutkan bahwa saat ini Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pun sudah tak lagi percaya dengan data produksi padi-beras yang beredar di ruang publik.
Anggota dewan yang terhormat pun demikian halnya: juga tak lagi percaya. Kalau anggota parlemen sudah tak percaya, tentu bahaya. Pasalnya, terkait fungsi legislasi yang disandangnya mereka punya keleluasaan untuk "mengotak-atik" undang-undang. Termasuk Undang-Undang No.16 Tahun 1997 tentang statistik.
Sebetulnya, penyebab ketidakpercayaan terhadap data produksi yang ada selama ini sederhana: disasosiasi data tersebut dengan fakta atau realitas yang terjadi di lapangan. Betapa tidak. Produksi padi-beras diperkiran lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri, namun pada saat yang sama impor beras tetap saja dilakukan. Logika awam tentu mengamini: untuk apa impor beras jika produksi dalam negeri melimpah.
Ambil contoh, di tahun 2011, produksi padi nasional dilaporkan sebesar 65,76 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 0.57, artinya ada sebanyak 35.7 juta ton beras yang siap dikonsumsi untuk pangan. Beras sebanyak itu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan beras penduduk Indonesia (untuk pangan) sebesar 33.39 juta ton. Dengan kata lain terjadi surplus nyaris 3 juta ton.
Sekedar merinci, kebutuhan beras penduduk sebesar 33.39 juta ton itu diperoleh dari hasil perkalian angka konsumsi beras per kapita sebesar 139.15 kilogram per tahun dengan jumlah penduduk sebesar 240 juta jiwa. Beberapa waktu lalu, di sejumlah media sempat beredar informasi bahwa angka konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia saat ini sebesar 113 kilogram per tahun. Meskipun bukan merupakan statistik resmi, menurut sejumlah kalangan, angka ini lebih masuk akal ketimbang angka 139,15 kilogram per kapita per tahun yang dianggap terlalu tinggi.
Hebatnya, jika menggunakan angka konsumsi beras sebesar 113 kilogram per tahun, surplus beras yang terjadi di tahun 2011 lalu cukup membuat kita terkesiap. Betapa tidak, nyaris menyentuh 10 juta ton. Padahal, di tahun 2011, pemerintah telah menetapkan target ambisius terkait produksi beras nasional, yakni pencapaian surplus 10 juta ton beras di tahun 2014. Seandainya data-data di atas benar, tentu kita tak harus bersusah payah menggenjot produksi sedemikian rupa dan menunggu hingga 2014. Karena kenyataannya di tahun 2011 saja terget ambisius itu nyaris tercapai.
Terlepas dari persoalan seberapa besar surplus beras yang terjadi di tahun 2011 lalu, faktanya, berdasarkan data-data yang beredar di ruang publik sulit untuk menampik bahwa neraca perberasan mengalami surplus. Namun anehnya, pada saat yang sama kita disuguhi kenyataan getir: negeri yang katanya agraris ini harus mengimpor 2.16 juta ton beras di tahun 2011 (sebagian terealisasi di tahun 2012) dengan menghabiskan devisa negara sekitar 7 triliun.
Bahkan, tahun ini pemerintah telah berencana untuk kembali mengimpor beras meskipun pada saat yang sama produksi padi nasional dilaporkan sebesar 68.96 juta ton GKG atau setara dengan 39.31 juta ton beras untuk konsumsi pangan penduduk. Dengan logika awam kita kembali bertanya: kenapa harus impor, padahal surplus? Pertanyaan yang sudah barang tentu tak akan terlontar jika data produksi yang ada bisa dipegang dan dipercaya akurasinya.
Ketinggian
Sudah lama ditengari data produksi padi-beras yang ada selama ini memang ketinggian (overestimate). Disasosinya dengan data konsumsi dan realitas impor beras merupakan indikasi kuat akan hal itu. Sejumlah kajian ilmiah yang telah dilakukan kian memperkuat indikasi bahwa data yang merupakan hasil kolaborasi dua lembaga pemerintah itu memang terlalu ketinggian. Hasil kajian yang dilakukan Institut Pertanian Bogor, misalnya, menyimpulkan bahwa terjadi overestimate sebesar 23 persen (untuk penghitungan luas panen) pada data produksi padi-beras nasional yang dugunakan selama ini.
Jika memang seperti itu faktanya, tentu berbahaya. Betapa tidak, data produksi tersebut merupakan dasar pijakan bagi kebijakan (policy) terkait perberasan di negeri ini. Bayangkan, apa jadinya jika kebijakan yang mengahabiskan triliunan uang negara dieksekusi berdasarkan data-data yang menyesatkan dan melenceng jauh dari raelita? Tentu, meminjam ucapan pejabat yang tampak risau malam itu: sebuah dosa kepada bangsa dan negara. Karena itu, konsekwesinya cuma satu: data produksi padi-beras harus segera diperbaiki akurasinya. (*)
Sumber data: BPS (kecuali angka konsumsi beras per kapita sebesar 113 kg per tahun)
Komentar
Posting Komentar