Hari ini, selembar undangan telah mampir di meja kantorku. Rupanya, seorang kawan, katakanlah Alpha, hendak menikah dalam waktu dekat.
Aku termangu-mangu kala memandangi lembar undangan yang sederhana itu. Seharusnya, nama seorang kawan nun jauh di ujung timur Indonesia, katakanlah Beta, yang tertulis di undangan itu mendampingi Alpha di pelaminan. Tak dinyana, ternyata tidak. Jodoh memang di tangan Tuhan.
Belum lekang dari ingatanku, kala suatu malam menyaksikan Alpha melepas kepergian Beta untuk kembali ke perantauan di hari terakhir kunjungan Beta di Jakarta beberapa bulan lalu. Aku menyaksikan pemandangan itu dari balik jendela kosanku yang gelap, tanpa diketahui keduanya. Salam kegelapan.
Sungguh pemandangan yang romantis sekaligus menyayat hati, mirip adegan dalam drama-drama Korea yang kerap ditonton Alpha saat jam kerja, di kantornya di Dr.Sutomo. Siapapun yang menyaksikan pemandangan malam itu pasti bakal menyimpulkan, betapa dalam cinta diantara kedua sejoli itu.
Tapi, selembar undangan dari Alpha yang mampir di majaku hari ini telah menjadikan kisah di atas sebagai akhir dari kenangan perjalanan cinta keduanya. Sungguh akhir yang dramatis, dan sekali lagi menyayat hati.
Cinta yang dalam sudah barang tentu tak akan menjadikan seseorang dengan mudahnya berpaling ke lain hati. Langgam cinta seperti ini kukuh digoyang ujian, menjadikan mereka yang dirasukinya rela mengorbankan apa saja ketimbang menjalani siksaan batin yang perih menggerus isi hati.
Ah, sudahlah, tahu apa aku ini tentang cinta. Aku yakin, apa yang terjadi pada Alpha dan Beta hanyalah ulangan kisah lama dari banyak muda-mudi di sebuah kampus kecil di Otista itu. Tentang cinta yang kandas karena jauhnya jarak yang memisahkan (penempatan). Cinta yang terhalang oleh sekat-sekat yang terlalu sulit untuk diterabas. Terlalu banyak yang harus dikorbankan jika terus dijalani.
Karenanya, dengan terpaksa impian untuk hidup bersama hingga ajal memisahkan harus dikubur dalam-dalam, sembari menelan getirnya kalimat yang kerap diucapkan oleh mereka yang cintanya tak kesampaian, hanya untuk sekedar menghibur diri dan mendinginkan hati yang luka: "cintakan tak harus memiliki".
Begitulah cinta, banyak orang yang meneguk manisnya kebahagiaan, melayang-layang hingga menembus langit karenanya. Sebaliknya, karena cinta pulalah orang terkadang meraskan derita tak terperi dan kehampaan jiwa hingga gantung diri.
Rumusnya sederhana: jika Anda berani mencintai, Anda juga harus berani untuk terluka.
Aku termangu-mangu kala memandangi lembar undangan yang sederhana itu. Seharusnya, nama seorang kawan nun jauh di ujung timur Indonesia, katakanlah Beta, yang tertulis di undangan itu mendampingi Alpha di pelaminan. Tak dinyana, ternyata tidak. Jodoh memang di tangan Tuhan.
Belum lekang dari ingatanku, kala suatu malam menyaksikan Alpha melepas kepergian Beta untuk kembali ke perantauan di hari terakhir kunjungan Beta di Jakarta beberapa bulan lalu. Aku menyaksikan pemandangan itu dari balik jendela kosanku yang gelap, tanpa diketahui keduanya. Salam kegelapan.
Sungguh pemandangan yang romantis sekaligus menyayat hati, mirip adegan dalam drama-drama Korea yang kerap ditonton Alpha saat jam kerja, di kantornya di Dr.Sutomo. Siapapun yang menyaksikan pemandangan malam itu pasti bakal menyimpulkan, betapa dalam cinta diantara kedua sejoli itu.
Tapi, selembar undangan dari Alpha yang mampir di majaku hari ini telah menjadikan kisah di atas sebagai akhir dari kenangan perjalanan cinta keduanya. Sungguh akhir yang dramatis, dan sekali lagi menyayat hati.
Cinta yang dalam sudah barang tentu tak akan menjadikan seseorang dengan mudahnya berpaling ke lain hati. Langgam cinta seperti ini kukuh digoyang ujian, menjadikan mereka yang dirasukinya rela mengorbankan apa saja ketimbang menjalani siksaan batin yang perih menggerus isi hati.
Ah, sudahlah, tahu apa aku ini tentang cinta. Aku yakin, apa yang terjadi pada Alpha dan Beta hanyalah ulangan kisah lama dari banyak muda-mudi di sebuah kampus kecil di Otista itu. Tentang cinta yang kandas karena jauhnya jarak yang memisahkan (penempatan). Cinta yang terhalang oleh sekat-sekat yang terlalu sulit untuk diterabas. Terlalu banyak yang harus dikorbankan jika terus dijalani.
Karenanya, dengan terpaksa impian untuk hidup bersama hingga ajal memisahkan harus dikubur dalam-dalam, sembari menelan getirnya kalimat yang kerap diucapkan oleh mereka yang cintanya tak kesampaian, hanya untuk sekedar menghibur diri dan mendinginkan hati yang luka: "cintakan tak harus memiliki".
Begitulah cinta, banyak orang yang meneguk manisnya kebahagiaan, melayang-layang hingga menembus langit karenanya. Sebaliknya, karena cinta pulalah orang terkadang meraskan derita tak terperi dan kehampaan jiwa hingga gantung diri.
Rumusnya sederhana: jika Anda berani mencintai, Anda juga harus berani untuk terluka.
Komentar
Posting Komentar